Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi suatu demonstrasi besar di Jakarta dan lebih dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden. Permasalahan ini kemudian diupayakan diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat. Setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, peran IKP dan BISAP dilakukan oleh SUAD-I.
Tanggal 10 November 1959, Presiden Soekarno membubarkan SUAD-I dan membentuk Badan Pusat Intelijen (BPI), yang langsung bertanggung jawab kepada Soekarno, dan mengangkat Soebandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Dibawah kepemimpinan Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan), Komando-Komando Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan politik Presiden Soekarno.
Langkah yang terbilang sangat berani dilakukan oleh Subandrio dan BPI atas restu Soekarno, untuk membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bagaikan simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat. Maka untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah seperti yang lazim berlaku di negara yang bercorak otoriter.
Dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI dibubarkan. Sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi belum berusia setahun, KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Beliau membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral Ali Murtopo dengan sandi nama Operasi Khusus (Opsus), di luar sepengetahuan BAKIN maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan maupun Markas Besar ABRI, serta Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya, Ali Murtopo bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto.
Ali Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi di Bangkok dalam rangka menjajaki kemungkinan mengakhiri “Konfrontasi” dengan Malaysia. Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.
Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.
Untuk mensinergikan operasi-operasi intelijen sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah Jenderal Yoga Sugama. Bahkan Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS (Center for Strategic and International Studies) dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu CSIS atau Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, hanya berfungsi sebagai lembaga pusat kajian dengan tugas pokok terbatas hanya pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata.
Jenderal Benny Moerdani tidak puas dengan fungsi kelembagaan CSIS atau Pusintelstrat tersebut dan mereorganisasikan “tenaga pusat” itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency- yakni BAIS (Badan Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik luar negeri, tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor Portugis pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di Timor Portugis dengan nama sandi Operasi Komodo.
Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah Badan Koordinasi, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi. Lalu pada era Reformasi, BAKIN berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga tersebut masih aktif sampai sekarang.
Saat ini, kegiatan-kegiatan lembaga intelijen di negara Indonesia, di tataran strategi, operasional dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen nasional terdiri dari lima tipe organisasi:
1. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara (BIN).
2. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian (Badan Intelijen Keamanan Polri), intelijen bea cukai (Direktorat Penindakan Dan Penyidikan), intelijen imigrasi (Direktorat Intelijen Keimigrasian), serta intelijen kejaksaan (Jaksa Agung Muda Intelijen).
3. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu: Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI) yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
4. Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan;
5. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara (LSN), Badan SAR Nasional (BARSANAS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengintaian dan pengindraan (Surveillance and reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), serta Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).
Senin, 28 Maret 2011
Sejarah Intelijen Indonesia (Edisi 1)
Negara manapun di dunia, tidak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan pokok atau wajib bagi suatu negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya pemanfaatannya dan juga pengendalian dari lembaga atau badan intelijen itu sendiri. Di Indonesia, sosok dan wibawa intelijen memang pernah sangat disegani khususnya di tahun awal 1967 sampai tahun 1969 yang terkenal waktu itu dengan istilah “Opsus” di bawah Ali Moertopo (alm.), dan penilaian itu sampai sekarang juga masih kental walaupun sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan dalam tubuh lembaga intelijen di Indonesia.
Lembaga intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat Zulkifli Lubis sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.
Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.
Dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah.
Akibat adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki kendali atas BI.
Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
BRANI dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI.
Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer seperti BISAP dan IKP.
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Lembaga intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat Zulkifli Lubis sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.
Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.
Dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah.
Akibat adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki kendali atas BI.
Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
BRANI dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI.
Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer seperti BISAP dan IKP.
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Sejarah Intelijen Indonesia
”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara yang secara definitif sudah merdeka, tapi juga badan-badan perjuangan kemerdekaan seperti Ireland Republic Army (IRA) di Irlandia Utara, Pathani Union Liberation Organisastion (PULO) di Thailand Selatan, Macan Tamil di Srilangka, lain sebagainya. Badan-badan perjuangan kemerdekaan tersebut memiliki juga fungsi-fungsi keintelijenan untuk menopang keberhasilan perjuangannya.
Dalam konteks Indonesia, misalnya masa kerajaan nusantara ada dikenal dengan Telik Sandi, yang menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen masuk ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penangannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif. Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.
Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang. Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelpam Polri.
Pada masa perjuangan kemerdekaan aktivitas keintelijenan di badan-badan perjuangan juga marak dan aktif , metode telik sandi, yang digunakan dalam proses pengintaian juga digunakan untuk mengawasi dan memata-matai aktivitas Belanda dan Jepang ketika itu. Hanya saja polanya lebih sederhana, dengan memanfaatkan masyarakat umum yang bersimpati bagi perjuangan kemerdekaan. Meski juga tak menutup kemungkinan fungsi keinteliejenan diemban oleh anggota laskar perjuangan dan tentara nasional, tapi bila ditelusuri lebih mendalam, penggunaan masyarakat umum sebagai mata dan telinga laskar perjuangan dan tentara nasional lebih efektif ketimbang dari anggota laskar atau tentara nasional itu sendiri. Hal ini terkait dengan kebutuhan informasi bagi perjuangan kemerdekaan yang masih terbatas pada numerik dan informasi ringan. Sehingga fungsi tersebut tidak sulit dilakukan oleh masyarakat umum sekalipun.
Akan tetapi kebutuhan informasi yang makin kompleks, membuat tugas-tugas keintelijenan harus pula terstruktur dan mengedepankan pola-pola kontra intelejen lainnya. Dengan memanfaatkan pendidikan dan latihan yang diberikan oleh Jepang pada organisasi Pembela Tanah Air (PETA). Apalagi pasca Jepang kalah dalam Perang Pasifik, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali masuk ke Indonesia dan menguasai. Dalam situasi tersebut sebenarnya peran dari intelijen terstruktur dan modern menjadi penting. Berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat sewaktu di PETA dan Kempetai, Zulkifli Lubis kemudian berinisiatif membentuk Badan Istimewa (BI), pada September 1945. dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keajegan republik, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kentara ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin kentara ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah. Meski harus diakui bahwa produk intelijen yang dihasilkan terbatas pada deteksi dini dan kontra intelijen, namun telah dimanfaatkan benar oleh Perdana Menteri Sjahrir melalui Menteri Pertahanan. Artinya secara prinsip, produk yang dihasilkan relatif digunakan untuk penegas kebijakan yang akan dan telah dibuat. Meski kurang optimal, BI relatif mampu menjalankan fungsi intelejen modern. tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara pada saat itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dihadapi oleh republik ini.
Sehingga sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TNI juga. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Soekarno tidak memiliki kendali atas BI. Bahkan secara prinsip, keberadaan BI justru makin memperkeruh hubungan yang kurang harmonis antara Soekarno dengan Sjahrir, yang mengemuka karena alasan-alasan personal yang tidak substansi. Alhasil efektifitas kerja, dan koordinasi menjadi permasalahan bagi BI untuk dapat memposisikan diri sebagai organisasi intelijen.
BI dianggap sebagai lembaga intelijen yang kurang layak, selain masalah kinerja dan koordinasi yang buruk. BI menjadi bagian dari konflik yang membesar antara Soekarno dan Sjahrir. Sehingga perlu dilakukan perubahan bentuk, agar mampu memenuhi kebutuhan pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan Presiden Soekarno-Hatta terhadap perumusan kebijakan politik yang jitu. Konflik antara Soekarno dan Sjahrir, serta ketidaksukaan tentara terhadap performa Kabinet Sjahrir, yang cenderung anti militer menjadi landasan perubahan BI menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). BRANI dibentuk pada 7 Mei 1946, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer.
Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. BRANI ini masih di bawah kendali Zulkifli Lubis, perwira didikan PETA Jepang ini masih berharap agar BRANI menjadi organisasi yang kuat, dan di bawah kontrol militer. Akan tetapi, seperti diulas di atas, keberadaan BRANI justru makin memperbesar konflik, yang bermuara pada strategi pergerakan militer, apakah memilih melawan setiap upaya Belanda dan Sekutunya yang ingin masuk ke Indonesia, atau mengupayakan diplomasi gaya Sjahrir, yang dianggap mampu meredam upaya Belanda menduduki lagi Indonesia. Besaran konflik ini juga melibatkan permasalahan pribadi antara Soekarno dan Sjahrir.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan BRANI sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI, namun bisa dikatakan terlambat. Sebab kalangan militer sudah mencium gelagat tersebut, kalangan militer masih menginginkan dominasinya pada lembaga intelijen nasional tersebut. Upaya pendekatan dan lobi yang kuat militer ke Soekarno membuahkan hasil, dengan restu politik dari Soekarno, pada akhirnya BRANI dibubarkan dan diganti dengan Bagian V, di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Pendirian Bagian V ini masih belum memuaskan kalangan militer, karena masih didominasi kalangan sipil, yang mengontrol lembaga tersebut di bawah Departemen Pertahanan, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, yang merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Hal yang perlu dicatat di sini adalah sejak awal pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir berkuasa, kalangan militer tidak menyukai gaya kepemimpinan Sjahrir yang kebarat-baratan, serta inskonstitusional, karena sistem parlementer yang dijalankan oleh Sjahrir tidak sesuai dengan UUD 1945, yang mengamanatkan sistem presidensial. Sementara kelompok Kiri, yang sejak proklamasi sudah menolak dominasi tentara, yang sebagian besar didikan Jepang, hanya sedikit perwira yang didikan Belanda, antara lain Nasution, T.B. Simatupang, dan Urip Sumohardjo. Sjahrir beranggapan bahwa para perwira didikan Jepang tersebut tidak cukup memiliki keterampilan tempur, dan cenderung fasis.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi lembaga intelijen adalah adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam pandangan Anderson, penculikan tersebut merupakan kegagalan kabinet Sjahrir untuk mengontrol tentara di bawah kendalinya. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen Bagian V, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu.
Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri. Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen.
Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab. Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.
Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus. Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut:
”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya”
Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut:
1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
8. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.
Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional. Dengan gambaran proses kelahiran kedua lembaga intelijen tersebut di atas, maka sejatinya ada benang merah yang sama perihal latar belakang dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh lembaga intelijen negara dan Kepolisian.
Adapun persamaannya terletak pada empat hal yaitu :
Pertama, lembaga intelijen negara dan intelijen Kepolisian memiliki latar belakang pembentukan yang terkondisikan oleh situasi yang kurang kondusif bagi penataan bentuk organisasi intelijen yang ideal. Sehingga tampak sekali kedua lembaga tersebut mengadopsi banyak hal dari prilaku kelembagaan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang. Indikatornya adalah melakukan generalisir pada tugas pokok dari masing-masing lembaga, serta menonjolkan metode pendekatan verbal dan kekerasan dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya. Sehingga beberapa kali terjadi kesalahpahaman satu dengan yang lain ketika beroperasi di lapangan, karena ketidakadaan batasan wilayah kerja satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah pada operasi kontra intelijen terhadap propaganda Pemberontakan PKI Madiun, 1948. di mana masing-masing melakukan upaya untuk mengambil hati masyarakat Madiun untuk memilih Soekarno-Hatta dari pada Muso-Amir Sjarifuddin.
Ketiga, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan republik. Sehingga ketika didirikan cenderung mengedepankan semangat dari pada keterampilan intelijen. Kondisi tersebut mengarah kepada kekurangmampuan dalam menindaklanjuti setiap permasalahan yang ada. Bahkan semangat itu pula yang menegaskan pentingnya keberadaan intelijen dalam pemerintahan republik.
Keempat, karena tidak ada legalitas yang dapat dijadikan acuan perihal keberadaan lembaga intelijen dan koordinasinya, maka gambaran kerja yang dibuat banyak mengadopsi pola dan gaya dari Kempetai dan Tokko-toko, serta polisi rahasia Pemerintahan Kolonial Belanda, yang mencakup seluruh permasalahan yang mengancam eksistensi pemerintahan.
Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara.
Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi.
Hanya saja, BISAP secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penggalangan massa untuk demonstrasi menentang campur tangan eksekutif dalam konflik di TNI di depan Istana, serta pengarahan meriam ke Istana. Di sinilah kemudian patut dipertanyakan efektifitas BISAP sebagai intelijen tempur. Hanya saja perdebatan campur tangan Soekarno dan kalangan sipil dalam regenerasi dan penataan kelembagaan militer terasa kental. Sehingga langkah untuk mengarahkan meriam ke Istana Negara, dan unjuk rasa yang digalang militer dan BISAP menjadi satu penegasan bahwa sebagai institusi, TNI ingin menata dirinya sendiri.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.
Di sisi lain, Soekarno membutuhkan lembaga intelijen yang dapat dikontrol dirinya. Selama ini bahkan kontrol atas Bagian V dan BISAP sendiri hanya berhenti di Menteri Pertahanan ataupun Perdana Menteri. Dirinya yang memposisikan Kepala Negara, menjadi sekedar simbol belaka. Sehingga upaya untuk mendorong pembentukan lembaga intelejen baru yang dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, dan yang benar-benar lepas dari pengaruh militer perlu dilakukan. Awalnya dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer. Harus diakui sejak Indonesia merdeka, kontrol lembaga intelijen memang di dalam genggaman tentara, baik yang langsung, seperti BISAP, maupun yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat.
Sejak saat itulah dimulai konsolidasi politik antara Soekarno, Subandrio, dan Aidit untuk bersama-sama melawan hegemoni tentara, khususnya Angkatan Darat. Berbagai aksi kontra intelijen dan kontra teror, tidak hanya dilakukan di luar negeri dan yang mengancam eksistensi bangsa, tapi juga antar lembaga intelijen lainnya. Puncak ’pertempuran’ antar BPI dengan intelijen militer sebenarnya terjadi saat eskalasi konflik antara tentara dengan simpatisan, anggota dan kader PKI yang di back up BPI , baik langsung maupun tidak langsung meninggi antara tahun 1962 hingga kejatuhan Soekarno. Infiltrasi ke tubuh PKI juga dilakukan, baik oleh intelijen militer maupun BPI. Hal ini mengingatkan konflik dan persaingan antara intel berlatar belakang tentara dan intel yang berlatar belakang sipil, yang banyak berasal dari kelompok Kiri pada awal pembentukan lembaga intelijen.
Dalam perjalanan waktu, secara realitas bisa dikatakan bahwa intelijen militer lebih ampuh dibanding dengan BPI yang terkesan elitis dan menciptakan budaya Asal Bung Karno Senang (ABS). Sehingga olahan dan data intelijen yang masuk memiliki tingkat kebenaran yang kurang valid. Sementara intelijen militer memanfaatkan jaringan CIA agar didukung oleh Amerika untuk menjatuhkan Soekarno. Langkah ini digarap secara serius pasca Pemberontakan PKI Madiun, namun kemudian lebih intensif lagi pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. salah satu indikatornya adalah garapan intelijen militer dengan merekrut mahasiswa menjadi ’dinamisator’ untuk menolak dan menandingi gerakan massa yang dikoordinir oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi payung PKI, serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi payung PNI ASU. Salah satu mahasiswa binaan dari intelijen militer adalah Suripto, dan Nugroho Notosusanto.
Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut:
1. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.
Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut:
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.
Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim.
Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Badan Pusat Intelijen (BPI), yang merupakan lembaga koordinasi antar lembaga intelijen buatan Soekarno segera dibubarkan,dan digantikan Komando Intelijen Negara (KIN). Rasa militeristiknya kental sekali, mulai dari penamaan dan dominasi pejabat dan anggota KIN. Hal tersebut dilakukan guna memberikan penegasan bahwa KIN harus patuh dan loyal kepada dirinya, yang selain menjadi Presiden, juga merangkap menjadi Panglima Kopkamtib. Lembaga yang terbentuk sebagai langkah untuk membersihkan negara dari kader-kader PKI dan anasir-anasirnya ini merupakan lembaga darurat, yang dibentuk untuk tugas-tugas khusus.
Harapan Soeharto agar KIN dapat bekerja lebih efektif menopang pemerintahannya makin kentara dan kuat, ketika kerja sama antara CIA dengan KIN makin terbuka. Hal ini didasar oleh upaya pengasahan keterampilan keintelijenan, dan kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. KIN dipecayakan kepada orang-orang kepercayan dan terdekatnya, yakni Yoga Soegama, perwira yang sangat loyal dan salah satu pendukung utama kepemimpinan Soeharto bekerja dengan cepat, taktis, dan sesuai dengan harapan. Yoga, yang merupakan satu dari perwira intelijen terbaik yang dimiliki oleh TNI ini membangun KIN menjadi organisasi yang mampu mengefektifkan seluruh lembaga intelijen yang ada di Indonesia. Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.
Tahun 1967, KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Perubahan nama ini makin menancapkan kuku dan hegemoni BAKIN sebagai lembaga koordinasi intelijen, di samping menjadi ’mata-mata’ dan kepanjangan tangan penguasa. Berbagai lembaga ekstra yudisial, yang tidak ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk guna memperkuat barisan lembaga intelijen yang menjadi bagian dari kekuasaan Soeharto, seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Operasi Tertib Pusat (Optibpus), Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Operasi Khusus (Opsus), dan lain sebagainya. Dan semua lembaga tersebut memiliki perwakilannya di daerah-daerah, baik inheren dengan komando teritorial (Koter),dari mulai Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil, maupun yang secara mandiri membentuk perwakilannya seperti Laksusda, Sospolda, dan lain sebagainya.
Penegasan dominasi intelijen militer adalah keberadaan intelijen militer, dalam hal ini Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS) di bawah Jenderal L.B. Moerdani, salah satu perwira tinggi intelijen TNI yang sangat kampiun dan dihormati oleh komunitas intelijen, baik dalam maupun luar negeri. BAIS bahkan memiliki struktur dan jaringan yang paling lengkap, dari mulai jaringan di daerah-daerah melalui Kodam-kodam, juga perwakilan di luar negeri, termasuk atase pertahanan. Apalagi perubahan dari Kopkamtib menjadi Bakortanas juga tak lain untuk membangun pencitraan yang lebih lunak, perihal represifitas yang dilakukan lembaga tersebut di masa lalu.
Praktis, peran dan fungsi keintelijenan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk tersebut di atas. Berbagai kegiatan masyarakat yang mengancam eksistensi kekuasaan Soeharto langsung di cap sebagai PKI, kader PKI, disusupi PKI, dan kata-kata yang menyudutkan masyarakat. Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut.
Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan fungsi Intelejen Polri makin menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai kasus yang melibatkan intelijen Polri pun sangat kentara. Misalnya pada kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan pejabat setingkat Kodim dan Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen Polri, atau bahkan kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan intelijen Polri, bahkan sebagai tersangka. Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam berbagai kasus telah dilemahkan. Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Polri dalam penanganan kasus kriminal, seperti pada kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang perlu dikemukakan adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran dan fungsi Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas. Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai ’tukang cuci piring’ dari berbagai kasus dan permasalahan yang melibatkan Polri selama kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.
Dukungan pendanaan dan SDM membuat BAIS menjadi satu organisasi yang begitu dominan, bahkan dibandingan dengan BAKIN. Masa Pemerintahan Habibie dan menjelang kejatuhan Soeharto BAIS memainkan peran yang begitu dominan. Unjuk rasa disertai aksi kerusuhan dan penembakan pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak lepas dari peran intelijen militer tersebut. Bahkan pada Referendum di Timor Timur, BAIS memainkan perannya untuk mempertahankan provinsi termuda tersebut memilih NKRI. Meski kalah telak, namun pemanfaatan dana tak terbatas dari ’uang asli tapi palsu/aspal’ sempat menjadi isu hangat, di luar tindakan kontra intelijen dan aksi bumi hangus di wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.
Yang cukup menarik adalah, meski TNI dan Polri disorot banyak pihak seputar kinerja dan perannya di masa lalu, lembaga intelijen hampir luput dari perhatian. BAKIN bahkan baru melakukan perubahan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, dengan nama Badan Intelijen Negara (BIN), dengan landasan legalitas Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen, yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikann komunitas intelijen lainnya. Perubahan tersebut hanya penegasan dari peran dan fungsi dari BAKIN yang dianggap pencitraannya kurang baik di masa lalu.
Perubahan tersebut harus dipahami sebagai upaya untuk ’mikul duwur mendem jero’, yang mencoba menetralkan BIN sebagai lembaga intelijen negara dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya. Meski juga disadari benar bahwa perubahan nama tersebut tidak juga mengubah karakter dan budaya kerja yang ada di BIN. BIN hanya berganti baju dari intelijen produk lama. Hal ini memang disadari betul mengingat perubahan paradigmatik di lembaga intelijen tersebut belum terjadi. Sehingga keberadaan BIN hanya menjadi pelengkap dari keberadaan lembaga-lembaga intelijen lainnya sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Apalagi A.M. Hendropriyono, yang dinilai dekat dengan Presiden Megawati makin memperkuat asumsi tersebut. Secara terbuka, bahkan Hendropriyono berulang kali mengungkapkan bahwa BIN merupakan bagian dari pemerintahan Megawati.
Di masa kepemimpinan Hendropriyono juga terjadi eksodus besar-besaran intel-intel sipil dan Polri dari BIN, karena adanya upaya mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut melakukan militerisasi di BIN. Proses tersebut juga disebabkan karena adanya faksionis di internal BIN ketika krisis politik perihal ancaman Dekrit Presiden oleh Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika kalangan intel sipil dan Polri yang merasa diuntungkan dengan berbagai kebijakan Wahid cenderung mendukung kepemimpinan Wahid, dan mencegah upaya sebagian intel berlatar belakang militer melakukan manuver mendukung penjatuhan Wahid dari kursi kepresidenan. Sebenarnya, kepemimpinan yang agak menyejukkan ketika BIN masih bernama BAKIN adalah saat Z.A. Maulani memimpin. Hanya teman dekat B.J. Habibie tersebut, melakukan blunder ketika mengamini kebijakan Habibie untuk melakukan referendum di Timor Timur.
Sedangkan Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi:
1. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
2. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Sama seperti yang terjadi di BIN, ternyata perubahan menjadi Badan Intelkam Polri tidak juga merubah paradigmatik berpikir, dan budaya lembaga yang ada. Bahkan untuk kasus Badan Intelkam Polri, ternyata ekspektasi yang luar biasa dari internal Polri membuat setiap perubahan yang ada menjadi semacam kemenangan bagi Polri setelah lebih dari 30 tahun terbelenggu dalam format matra angkatan. Sikap defensif dan menolak berbagai upaya penataan, khususnya penataan koordinasi intelijen tidak terlalu disikapi serius oleh Polri. Bahkan ada kesan, Polri menolak upaya untuk menata kelembagaan pertahanan dan keamanan dalam berbagai sikap dan cara.
Permasalahan yang juga muncul berkaitan dengan respon Polri, khususnya Badan Intelkam terhadap krisis politik di masa Presiden Wahid terjadi juga. Dualisme kepemimpinan Polri saat S. Bimantoro dan Chaeruddin Ismail satu dengan yang lain merasa menjadi Kapolri. Ada keragu-raguan juga ketika Keluarga Besar Polri harus memilih S. Bimantoro atau Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri. Situasi ini pada akhirnya direspon oleh delapan perwira menengah Polri dengan mendukung Chaeruddin Ismail, dan menolak kepemimpinan S.Bimantoro. Permasalahan yang kemudian muncul adalah Badan Intelkam Polri juga bermain dengan melakukan kontra intelijen dan menyebarkan informasi bahwa delapan orang ini akan melakukan kudeta, dan akan menangkap Ketua DPR, Akbar Tandjung, dan Ketua MPR, Amien Rais. Isu tersebut disebarkan agar kedelapan perwira menengah tersebut dapat di tangkap, selain alasan indisipliner
Otoritas negara dan koordinasi antar lembaga intelijen sejak bangsa ini merdeka, hingga Orde Reformasi menjadi satu permasalahan yang serius. Bukan itu saja, bahkan negara yang berperan sebagai end user ternyata juga melakukan langkah-langkah yang tidak sinergis dengan penegakan otoritas negara. pada berbagai masa kepresidenan, baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki berbagai persamaan dan perbedaan menyangkut keotoritasan negara dan koordinasi antar lembaga. Pada masa Orde Lama justru yang terjadi adalah meningkatkanya konflik antara Presiden Soekarno dengan TNI, khususnya Angkatan Darat. Konflik ini bermuara pada terbangunnya ketidakpercayaan Soekarno terhadap semua produk intelijen negara, yang kebetulan didominasi oleh militer. Sementara pada masa Orde Baru, semua produk intelijen digunakan oleh Presiden Soeharto, dan ia memposisikan dirinya pusat dari lingkaran komunitas intelijen lainnya. Bahkan dengan berbagai cara, yang salah satunya mendirikan lembaga intelijen yang ekstra yudisial, bersifat khusus, namun memiliki kekuasaan yang sangat besar dan melebihi wewenang lembaga intelijen yang ada. Pada masa Orde Reformasi, Habibie, Wahid, Megawati, dan SBY lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan mengenai intelijen. Namun kesamaan dari empat presiden tersebut adalah mengangkat kepala badan intelijen negara dari orang terdekat.
Sementara pada masa Orde Lama dan Orde Reformasi kendali atas lembaga-lembaga intelijen bersifat longgar, maka pada masa Orde Baru justru cenderung ketat. Kelonggaran kendali dan kontrol Soekarno, terhadap berbagai lembaga intelijen disebabkan oleh terbangunnya asumsi di kepala Soekarno mengenai dominasi militer di tubuh intelijen. Sehingga akan beresiko apabila produk yang dihasilkan oleh lembaga intelijen, khususnya intelijen negara digunakan sebagai pijakan untuk perumusan kebijakan. Ketatnya kendali atas komunitas intelijen di masa Orde Baru dilakukan oleh Soeharto dengan sadar. Sebab, kendali yang efektif atas lembaga intelijen yang ada akan mengurangi distorsi informasi yang merupakan produk intelijen tersebut. Sedangkan Presiden masa Orde Reformasi disebabkan adanya satu asumsi bahwa dengan memegang pimpinan atau kepala BAKIN atau BIN sudah cukup mengontrol lembaga tersebut untuk memberikan produk dari lembaga hanya kepada mereka.
Ketika Soekarno merasa tidak lagi mampu mengendalikan dominasi militer di lembaga intelijen negara, maka ia kemudian membentuk BPI, yang diharapkan mampu menjadi lembaga koordinasi antar lembaga intelijen lainnya. Dengan sepenuhnya dapat dikontrol dan loyal kepada dirinya, BPI kemudian saling berhadap-hadapan dengan kepentingan TNI di lapangan. Langkah Soekarno tersebut menjadi satu titik balik pengkubuan konflik antara dirinya dengan militer. Bahkan pengkubuan tersebut makin membesar ketika Soekarno merangkul PKI melalui jaringan BPI, dan Subandrio. Langkah Soeharto lebih elegan, ketika konflik antar perwira intel terjadi menjelang peristiwa Malari, yang dilakukan oleh Soeharto adalah menggantinya, serta keduanya kemudian ’diistirahatkan’ dan ditempatkan di pos tidak penting. Sedangkan pada Orde Reformasi kontrol negara hanya sebatas pada kepemimpinan level puncak lembaga intelijen negara. asumsi dasarnya, ketika Kepala Bakin atau BIN merupakan loyalis ataupun orang dekat kekuasaan maka kendali atas lembaga intelijen dalam genggaman.
Keberadaan komunitas intelijen lain, pada masa Orde Lama hampir tidak diganggu, kecuali aroma persaingan antara BPI dengan intelijen militer. Indikator yang paling kelihatan adalah dinamisasi dan perkembangan intelijen Kepolisian yang dapat menjalankan berbagai tugas dan fungsinya tanpa ada intervensi dan gangguan dari Soekarno. Bahkan mantan petinggi intelijen Kepolisian menjadi orang kedua di BPI, yang dipimpin Subandrio. Berbeda pada masa Orde Baru, marjinalisasi lembaga intelijen di luar intelijen militer begitu kentara. Bahkan melakukan sub ordinasi berbagai lembaga intelijen oleh lembaga-lembaga ekstra yudisial lain yang memiliki fungsi intelijen sering dilakukan, hal tersebut terjadi pada intelijen Polri. Fungsi koordinasi pada lembaga KIN ataupun BAKIN hanya untuk mengontrol komunitas intelijen lain, agar sejalan dengan kebijakan Soeharto. Pada Orde Reformasi terjadi penyimpangan ketika penangkapan Omar Al Farouk, salah satu gembong terorisme dilakukan oleh BIN, dan langsung diserahkan ke Amerika Serikat. Penyimpangan koordinasi ini menegasikan peran intelijen Polri dalam fungsi penegakan hukum.
Dalam membangun otoritas negara atas intelijen pun masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menemui kendala. Satu persamaan yang paling kelihatan pada masa pemerintahan enam presiden tersebut adalah upaya membawa komunitas intelijen menopang pemerintahan mereka. Soekarno berupaya mengembangkan BPI sebagai ujung tombak bagi pemerintahannya, dengan melakukan kontra intelijen dan kontra teror terhadap musuh Soekarno, TNI Angkatan Darat. Efektifitas kontrol terhadap lembaga-lembaga intelijen lain terganggu oleh manuver intelijen militer yang keluar dari koordinasi BPI. Sementara pada masa Orde Baru, Soeharto bisa dibilang efektif, meski jauh dari prinsip dan nilai demokrasi. Semua lembaga intelijen ada dalam genggamannya. Bahkan sangat efektif menopang pemerintahannya. Sedangkan pada Orde Reformasi mengangkat ketua dan pimpinan BAKIN, atau BIN berasal dari orang terdekat di lingkaran kekuasaan.
Penataan Koordinasi
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban
Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang, khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan, yakni:
Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.
Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri. Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu dan kabur.
Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat mencakup keindonesiaan.
Keempat, budaya di internal lembaga intelejen belum mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.
Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya ancaman menjadi tragedi.
Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelejen untuk membuka hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali terjadi bentrok kerja antara lembaga intelejen tersebut di lapangan, misalnya pada kasus penggrebekan pelaku teroris di Tangerang yang membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.
Permasalahan koordinasi antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian, khususnya, maupun komunitas intelijen lainnya hampir pasti tidak akan terselesaikan apabila belum ada perundang-undangan yang mengatur komunitas tersebut. Koordinasi menjadi kata kunci bagi upaya mendorong agar lembaga intelijen, serta komunitas intelijen lainnya dapat mengefektifkan kinerja dan lebih profesional. Guna mereformasi lembaga intelijen secara umum, di mana di dalamnya akan menata pula permasalahan koordinasi, yang menjadi titik krusial bagi upaya mengefektifkan kinerja komunitas intelijen sesuai dengan porsi dan wewenangnya membutuhkan delapan prasyarat yang harus terpenuhi, yaitu:
Pertama, Upaya untuk menata koordinasi harus diawali dengan adanya legalitas yang mengikat seluruh komponen dan lembaga intelijen dalam satu irama yang selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Dengan memperhatikan pada jenis dan karakteristik dari masing-masing lembaga. Sehingga penataan koordinasi intelijen tersebut dapat terukur dan mampu membagi habis kewenangan secara proporsional. Akan tetapi perundang-undangan yang ada selain masalah koordinasi antar lembaga, juga harus memuat setidaknya berbagai komunitas intelijen yang ada dengan mengeksplisitkan pada: Hakikat dan tujuan intelijen; Ruang lingkup intelijen; Tugas, fungsi, serta wewenang; Organisasi dan prinsip-prinsip pengaturan. Dan yang tidak kalah seriusnya adalah penegasan bahwa lembaga intelijen harus tunduk pada otoritas sipil, dengan mengedepankan pada penghormatan pada HAM dan nilai serta prinsip demokrasi. Sementara perundang-undangan intelijen yang secara eksplisit dan sangat jelas menguraikan koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian adalah Law on Security Services of The Federal Republic of Yugoslavia, namun sayangnya negara tersebut tidak lagi eksis, karena hanya menyisakan Republik Serbia, setelah terakhir Montenegro juga menyatakan kemerdekaannya melalui referendum.
Kedua, otoritas negara dan kontrol yang berlapis pada efektifitas kinerja dan koordinasi komunitas intelijen. Otoritas negara dalam hal ini dapat dilihat dalam pengembangan kelembagaan dan pemakai produk intelijen terakhir. Dengan mengedepankan adanya otoritas negara setidaknya lembaga intelijen yang terkoordinir melalui keapala atau pimpinan lembaga koordinasi intelijen yang dipilih secara politis oleh Presiden. Bila kepala lembaga intelijen lainnya dipilih karena bersifat karier, maka upaya membangun otoritas negara atas lembaga intelijen tercermin dari pemilihan kepala lembaga koordinasi intelijen oleh Presiden. Adapun yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengembangkan dan mengefektifkan otoritasnya tidak melakukan politisasi, dan sentimen antar lembaga. Karena hal tersebut hanya akan membuat koordinasi dan konerja tidak akan efektif. Sedangkan pengawasan dan kontrol berlapis akan mendorong komunitas intelijen bekerja dengan efektif dan efisien, dengan memperhatikan berbagai rambu-rambu di dalam negara demokratik. Sementara khusus koordinasi antara BIN dan Baintelkam Polri, peran negara sebagai policy maker dan pemilik fungsi kontrol dan pengawasan harus lebih diuraikan secara detail dengan memperhatikan batasan-batasan wewenang antar keduanya. Dengan menegaskan efektifita kode etik lembaga intelijen, serta turunan dari tugas, dan fungsi di masing-masing lembaga, yang biasanya dikeluarkan melalui keputusan kepala masing-masing lembaga yang menaunginya.
Ketiga, pengembangan budaya kerja yang profesional dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. Budaya di masing-masing internal lembaga cenderung menahan diri dan mengambil jarak antar lembaga intelijen lainnya. Hal ini tidak akan menguntungkan bagi penataan lembaga intelijen, tidak hanya BIN dan Baintelkam Polri, yang banyak menangani permasalahan domestik dan dalam negeri, tapi juga lembaga intelijen lainnya. Salah satu yang harus ditegaskan mengenai budaya internal lembaga yang baik adalah, bagaimana mengembangkan cakupan kerja yang sesuai dengan batasan dan wewenangnya. Artinya bila Baintelkam Polri harus mampu mengembangkan segenap potensi untuk melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan kriminalitas.
Keempat, membangun kesadaran kepada masing-masing anggota intel perihal realitas yang dihadapi sebagai bagian dari pelaksana fungsi keintelijenan. Artinya, kebanggaan dan ekspektasi yang berlebihan tidak lagi menjadi satu kendala bagi pengembangan koordinasi. Kebanggaan semu dan ekspetasi yang berlebihan memang akan makin mencerminkan kedangkalan produk yang dihasilkan, sebab identitas dan pola akan mudah diketahui lawan, maupun masyarakat yang akhirnya enggan membagi informasinya. Citra dan intel kita memang sudah diambang kronis, contoh yang paling kentara adalah mudahnya anggota intel teridentifikasi oleh masyarakat saat melakukan covert operation. Bayangkan bagaimana mudahnya intel lawan dalam mengidentifikasi pola dan cara yang dilakukan oleh intel kita.
Kelima, terbangunnya semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap batasan dan wewenang lembaga intelijen lainnya, serta tidak berusaha melakukan penyabotan. Semangat kebersamaan ini mungkin akan sulit diwujudkan apabila melihat trauma masa lalu yang dirasakan oleh lembaga intelijen di luar intelijen militer, seperti intelijen Polri misalnya. Artinya perlu ada alat untuk memaksa lembaga-lembaga intelijen lainnya agar duduk bersama untuk melakukan koordinasi dengan payung perundang-undangan yang mengikat semua komunitas intelijen.
Keenam, mengembangkan kerja koordinasi, baik dalam bentuk yang formal seperti pada upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, yang payung undang-undangnya ada pada UU No. 15 Tahun 2003, maupun yang informal, seperti operasi intelijen gabungan yang bersifat insidental di perbatasan Timor Leste, yang tengah bergolak dan mengancam integritas nasional, baik bersifat politis, maupun kriminal.
Ketujuh, pemenuhan anggaran intelijen yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Prasyarat ini menjadi bagian yang akan mempengaruhi tingkat koordinasi antar lembaga. Sekedar gambaran, BIN dan Baintelkam Polri mendapatkan kucuran anggaran yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain, baik asal anggaran, maupun besaran anggarannya. BIN, bila statusnya tetap setingkat kementerian seperti sekarang, jelas akan memiliki anggaran yang cukup besar dibandingkan dengan Baintelkam Polri yang berasal dari Mabes Polri. Satu kelemahan yang disebabkan kurangnya anggaran adalah prilaku menyimpang yang membuat tingkat koordinasi menjadi lemah, seperti pada kasus beking oknum intel satu lembaga intelijen terhadap perjudian dan prostitusi beberapa waktu lalu. Padahal permasalah perjudian dan prostitusi merupakan bagian dari tugas Baintelkam Polri, sehingga bentrok dan konflik tidak dapat dihindarkan, yang berujung pada tidak efektifnya kerja-kerja keintelijenan.
Kedelapan, selain adanya aturan legal formal dalam bentuk undang-undang, dibutuhkan juga satu kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), ataupun keputusan bersama antara Kementerian yang membawahi BIN ataupun kepala BIN sendiri dengan Kapolri perihal batasan dan cakupan wewenang keamanan dalam negeri. Di mana BIN maupun Polri menegaskan hal tersebut, baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, ataupun Inpres No. 5 Tahun 2002, serta Kepres No. 103 Tahun 2001. artinya perlu ada batasan formal, antara cakupan Keamanan Dalam Negeri versi Polri, dengan batasan Keamanan Nasional dalam persfektif BIN. Masalah-masalah keamanan dalam negeri harus jelas antara keduanya, sehingga permasalahan koordinasi yang menjadi permasalahan antara kedua lembaga tersebut di masa akan datang tidak lagi terjadi.
Koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya pada intelijen negara, yakni BIN dan intelijen Kepolisian, yang terepresentasi dalam Baintelkam Polri diharapkan akan membaik dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut di atas. Artinya koordinasi yang efektif akan memberikan satu produk intelijen yang komprehensif bagi pemerintah, sebagai end user. BIN harus menegaskan dirinya sebagai intelijen yang menjalankan fungsi intelijen keamanan dalam negeri, yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah keamanan dalam negeri, yang terkait dengan pembentukan sistem peringatan dini serta sistem analisis informasi strategis guna menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, di Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002. Sehingga, keinginan untuk menjadi semacam Special Branch dalam Scotland Yard harus dikubur dalam-dalam, dengan lebih mengedepankan efektifitas dan penguatan tugas dan fungsi yang ada sekarang.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri.
Sehingga membutuhkan satu penegasan agar BIN dan Baintelkam Polri mampu memerankan perannya secara sinergis, komprehensif, serta berlandas pada prinsip dan nilai demokrasi. Penyimpangan dan gesekan kepentingan masing-masing lembaga pada operasional dapat diminimalisir dengan mempertegas aturan main, berupa perundang-undangan, dan berbagai kesepakatan antar keduanya. Sebab, menghilangkan sama sekali citra lembaga intelijen dalam berbagai peristiwa yang melanggar HAM, menunjukkan saling sikut dan mengorbankan lembaga lain demi menjaga citra dan nama baik di masyarakat pernah terjadi di masa lalu. Intelijen memang bukan lembaga normal biasa dalam praktik operasionalnya, sehingga pengetatan aturan main, dan kode etik operasionalnya menjadi penegas bagi keberadaan BIN, sebagai lembaga intelijen negara, dan Baintelkam Polri, sebagai intelijen Kepolisian untuk membangun koordinasi yang baik. Dan indikator yang paling kentara adalah terbangunnya koordinasi yang baik adalah efektifitas operasional masing-masing lembaga dengan tetap memperhatikan penegakkan HAM, dan nilai serta prinsip demokrasi.
Sumber : http://www.blogcatalog.com/topic/sejarah+intelijen/
Dalam konteks Indonesia, misalnya masa kerajaan nusantara ada dikenal dengan Telik Sandi, yang menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen masuk ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penangannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif. Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.
Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang. Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelpam Polri.
Pada masa perjuangan kemerdekaan aktivitas keintelijenan di badan-badan perjuangan juga marak dan aktif , metode telik sandi, yang digunakan dalam proses pengintaian juga digunakan untuk mengawasi dan memata-matai aktivitas Belanda dan Jepang ketika itu. Hanya saja polanya lebih sederhana, dengan memanfaatkan masyarakat umum yang bersimpati bagi perjuangan kemerdekaan. Meski juga tak menutup kemungkinan fungsi keinteliejenan diemban oleh anggota laskar perjuangan dan tentara nasional, tapi bila ditelusuri lebih mendalam, penggunaan masyarakat umum sebagai mata dan telinga laskar perjuangan dan tentara nasional lebih efektif ketimbang dari anggota laskar atau tentara nasional itu sendiri. Hal ini terkait dengan kebutuhan informasi bagi perjuangan kemerdekaan yang masih terbatas pada numerik dan informasi ringan. Sehingga fungsi tersebut tidak sulit dilakukan oleh masyarakat umum sekalipun.
Akan tetapi kebutuhan informasi yang makin kompleks, membuat tugas-tugas keintelijenan harus pula terstruktur dan mengedepankan pola-pola kontra intelejen lainnya. Dengan memanfaatkan pendidikan dan latihan yang diberikan oleh Jepang pada organisasi Pembela Tanah Air (PETA). Apalagi pasca Jepang kalah dalam Perang Pasifik, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali masuk ke Indonesia dan menguasai. Dalam situasi tersebut sebenarnya peran dari intelijen terstruktur dan modern menjadi penting. Berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat sewaktu di PETA dan Kempetai, Zulkifli Lubis kemudian berinisiatif membentuk Badan Istimewa (BI), pada September 1945. dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keajegan republik, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kentara ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin kentara ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah. Meski harus diakui bahwa produk intelijen yang dihasilkan terbatas pada deteksi dini dan kontra intelijen, namun telah dimanfaatkan benar oleh Perdana Menteri Sjahrir melalui Menteri Pertahanan. Artinya secara prinsip, produk yang dihasilkan relatif digunakan untuk penegas kebijakan yang akan dan telah dibuat. Meski kurang optimal, BI relatif mampu menjalankan fungsi intelejen modern. tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara pada saat itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dihadapi oleh republik ini.
Sehingga sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TNI juga. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Soekarno tidak memiliki kendali atas BI. Bahkan secara prinsip, keberadaan BI justru makin memperkeruh hubungan yang kurang harmonis antara Soekarno dengan Sjahrir, yang mengemuka karena alasan-alasan personal yang tidak substansi. Alhasil efektifitas kerja, dan koordinasi menjadi permasalahan bagi BI untuk dapat memposisikan diri sebagai organisasi intelijen.
BI dianggap sebagai lembaga intelijen yang kurang layak, selain masalah kinerja dan koordinasi yang buruk. BI menjadi bagian dari konflik yang membesar antara Soekarno dan Sjahrir. Sehingga perlu dilakukan perubahan bentuk, agar mampu memenuhi kebutuhan pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan Presiden Soekarno-Hatta terhadap perumusan kebijakan politik yang jitu. Konflik antara Soekarno dan Sjahrir, serta ketidaksukaan tentara terhadap performa Kabinet Sjahrir, yang cenderung anti militer menjadi landasan perubahan BI menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). BRANI dibentuk pada 7 Mei 1946, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer.
Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. BRANI ini masih di bawah kendali Zulkifli Lubis, perwira didikan PETA Jepang ini masih berharap agar BRANI menjadi organisasi yang kuat, dan di bawah kontrol militer. Akan tetapi, seperti diulas di atas, keberadaan BRANI justru makin memperbesar konflik, yang bermuara pada strategi pergerakan militer, apakah memilih melawan setiap upaya Belanda dan Sekutunya yang ingin masuk ke Indonesia, atau mengupayakan diplomasi gaya Sjahrir, yang dianggap mampu meredam upaya Belanda menduduki lagi Indonesia. Besaran konflik ini juga melibatkan permasalahan pribadi antara Soekarno dan Sjahrir.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan BRANI sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI, namun bisa dikatakan terlambat. Sebab kalangan militer sudah mencium gelagat tersebut, kalangan militer masih menginginkan dominasinya pada lembaga intelijen nasional tersebut. Upaya pendekatan dan lobi yang kuat militer ke Soekarno membuahkan hasil, dengan restu politik dari Soekarno, pada akhirnya BRANI dibubarkan dan diganti dengan Bagian V, di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Pendirian Bagian V ini masih belum memuaskan kalangan militer, karena masih didominasi kalangan sipil, yang mengontrol lembaga tersebut di bawah Departemen Pertahanan, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, yang merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Hal yang perlu dicatat di sini adalah sejak awal pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir berkuasa, kalangan militer tidak menyukai gaya kepemimpinan Sjahrir yang kebarat-baratan, serta inskonstitusional, karena sistem parlementer yang dijalankan oleh Sjahrir tidak sesuai dengan UUD 1945, yang mengamanatkan sistem presidensial. Sementara kelompok Kiri, yang sejak proklamasi sudah menolak dominasi tentara, yang sebagian besar didikan Jepang, hanya sedikit perwira yang didikan Belanda, antara lain Nasution, T.B. Simatupang, dan Urip Sumohardjo. Sjahrir beranggapan bahwa para perwira didikan Jepang tersebut tidak cukup memiliki keterampilan tempur, dan cenderung fasis.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi lembaga intelijen adalah adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam pandangan Anderson, penculikan tersebut merupakan kegagalan kabinet Sjahrir untuk mengontrol tentara di bawah kendalinya. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen Bagian V, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu.
Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri. Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen.
Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab. Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.
Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus. Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut:
”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya”
Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut:
1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
8. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.
Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional. Dengan gambaran proses kelahiran kedua lembaga intelijen tersebut di atas, maka sejatinya ada benang merah yang sama perihal latar belakang dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh lembaga intelijen negara dan Kepolisian.
Adapun persamaannya terletak pada empat hal yaitu :
Pertama, lembaga intelijen negara dan intelijen Kepolisian memiliki latar belakang pembentukan yang terkondisikan oleh situasi yang kurang kondusif bagi penataan bentuk organisasi intelijen yang ideal. Sehingga tampak sekali kedua lembaga tersebut mengadopsi banyak hal dari prilaku kelembagaan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang. Indikatornya adalah melakukan generalisir pada tugas pokok dari masing-masing lembaga, serta menonjolkan metode pendekatan verbal dan kekerasan dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya. Sehingga beberapa kali terjadi kesalahpahaman satu dengan yang lain ketika beroperasi di lapangan, karena ketidakadaan batasan wilayah kerja satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah pada operasi kontra intelijen terhadap propaganda Pemberontakan PKI Madiun, 1948. di mana masing-masing melakukan upaya untuk mengambil hati masyarakat Madiun untuk memilih Soekarno-Hatta dari pada Muso-Amir Sjarifuddin.
Ketiga, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan republik. Sehingga ketika didirikan cenderung mengedepankan semangat dari pada keterampilan intelijen. Kondisi tersebut mengarah kepada kekurangmampuan dalam menindaklanjuti setiap permasalahan yang ada. Bahkan semangat itu pula yang menegaskan pentingnya keberadaan intelijen dalam pemerintahan republik.
Keempat, karena tidak ada legalitas yang dapat dijadikan acuan perihal keberadaan lembaga intelijen dan koordinasinya, maka gambaran kerja yang dibuat banyak mengadopsi pola dan gaya dari Kempetai dan Tokko-toko, serta polisi rahasia Pemerintahan Kolonial Belanda, yang mencakup seluruh permasalahan yang mengancam eksistensi pemerintahan.
Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara.
Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi.
Hanya saja, BISAP secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penggalangan massa untuk demonstrasi menentang campur tangan eksekutif dalam konflik di TNI di depan Istana, serta pengarahan meriam ke Istana. Di sinilah kemudian patut dipertanyakan efektifitas BISAP sebagai intelijen tempur. Hanya saja perdebatan campur tangan Soekarno dan kalangan sipil dalam regenerasi dan penataan kelembagaan militer terasa kental. Sehingga langkah untuk mengarahkan meriam ke Istana Negara, dan unjuk rasa yang digalang militer dan BISAP menjadi satu penegasan bahwa sebagai institusi, TNI ingin menata dirinya sendiri.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.
Di sisi lain, Soekarno membutuhkan lembaga intelijen yang dapat dikontrol dirinya. Selama ini bahkan kontrol atas Bagian V dan BISAP sendiri hanya berhenti di Menteri Pertahanan ataupun Perdana Menteri. Dirinya yang memposisikan Kepala Negara, menjadi sekedar simbol belaka. Sehingga upaya untuk mendorong pembentukan lembaga intelejen baru yang dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, dan yang benar-benar lepas dari pengaruh militer perlu dilakukan. Awalnya dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer. Harus diakui sejak Indonesia merdeka, kontrol lembaga intelijen memang di dalam genggaman tentara, baik yang langsung, seperti BISAP, maupun yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat.
Sejak saat itulah dimulai konsolidasi politik antara Soekarno, Subandrio, dan Aidit untuk bersama-sama melawan hegemoni tentara, khususnya Angkatan Darat. Berbagai aksi kontra intelijen dan kontra teror, tidak hanya dilakukan di luar negeri dan yang mengancam eksistensi bangsa, tapi juga antar lembaga intelijen lainnya. Puncak ’pertempuran’ antar BPI dengan intelijen militer sebenarnya terjadi saat eskalasi konflik antara tentara dengan simpatisan, anggota dan kader PKI yang di back up BPI , baik langsung maupun tidak langsung meninggi antara tahun 1962 hingga kejatuhan Soekarno. Infiltrasi ke tubuh PKI juga dilakukan, baik oleh intelijen militer maupun BPI. Hal ini mengingatkan konflik dan persaingan antara intel berlatar belakang tentara dan intel yang berlatar belakang sipil, yang banyak berasal dari kelompok Kiri pada awal pembentukan lembaga intelijen.
Dalam perjalanan waktu, secara realitas bisa dikatakan bahwa intelijen militer lebih ampuh dibanding dengan BPI yang terkesan elitis dan menciptakan budaya Asal Bung Karno Senang (ABS). Sehingga olahan dan data intelijen yang masuk memiliki tingkat kebenaran yang kurang valid. Sementara intelijen militer memanfaatkan jaringan CIA agar didukung oleh Amerika untuk menjatuhkan Soekarno. Langkah ini digarap secara serius pasca Pemberontakan PKI Madiun, namun kemudian lebih intensif lagi pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. salah satu indikatornya adalah garapan intelijen militer dengan merekrut mahasiswa menjadi ’dinamisator’ untuk menolak dan menandingi gerakan massa yang dikoordinir oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi payung PKI, serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi payung PNI ASU. Salah satu mahasiswa binaan dari intelijen militer adalah Suripto, dan Nugroho Notosusanto.
Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut:
1. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.
Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut:
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.
Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim.
Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Badan Pusat Intelijen (BPI), yang merupakan lembaga koordinasi antar lembaga intelijen buatan Soekarno segera dibubarkan,dan digantikan Komando Intelijen Negara (KIN). Rasa militeristiknya kental sekali, mulai dari penamaan dan dominasi pejabat dan anggota KIN. Hal tersebut dilakukan guna memberikan penegasan bahwa KIN harus patuh dan loyal kepada dirinya, yang selain menjadi Presiden, juga merangkap menjadi Panglima Kopkamtib. Lembaga yang terbentuk sebagai langkah untuk membersihkan negara dari kader-kader PKI dan anasir-anasirnya ini merupakan lembaga darurat, yang dibentuk untuk tugas-tugas khusus.
Harapan Soeharto agar KIN dapat bekerja lebih efektif menopang pemerintahannya makin kentara dan kuat, ketika kerja sama antara CIA dengan KIN makin terbuka. Hal ini didasar oleh upaya pengasahan keterampilan keintelijenan, dan kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. KIN dipecayakan kepada orang-orang kepercayan dan terdekatnya, yakni Yoga Soegama, perwira yang sangat loyal dan salah satu pendukung utama kepemimpinan Soeharto bekerja dengan cepat, taktis, dan sesuai dengan harapan. Yoga, yang merupakan satu dari perwira intelijen terbaik yang dimiliki oleh TNI ini membangun KIN menjadi organisasi yang mampu mengefektifkan seluruh lembaga intelijen yang ada di Indonesia. Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.
Tahun 1967, KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Perubahan nama ini makin menancapkan kuku dan hegemoni BAKIN sebagai lembaga koordinasi intelijen, di samping menjadi ’mata-mata’ dan kepanjangan tangan penguasa. Berbagai lembaga ekstra yudisial, yang tidak ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk guna memperkuat barisan lembaga intelijen yang menjadi bagian dari kekuasaan Soeharto, seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Operasi Tertib Pusat (Optibpus), Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Operasi Khusus (Opsus), dan lain sebagainya. Dan semua lembaga tersebut memiliki perwakilannya di daerah-daerah, baik inheren dengan komando teritorial (Koter),dari mulai Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil, maupun yang secara mandiri membentuk perwakilannya seperti Laksusda, Sospolda, dan lain sebagainya.
Penegasan dominasi intelijen militer adalah keberadaan intelijen militer, dalam hal ini Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS) di bawah Jenderal L.B. Moerdani, salah satu perwira tinggi intelijen TNI yang sangat kampiun dan dihormati oleh komunitas intelijen, baik dalam maupun luar negeri. BAIS bahkan memiliki struktur dan jaringan yang paling lengkap, dari mulai jaringan di daerah-daerah melalui Kodam-kodam, juga perwakilan di luar negeri, termasuk atase pertahanan. Apalagi perubahan dari Kopkamtib menjadi Bakortanas juga tak lain untuk membangun pencitraan yang lebih lunak, perihal represifitas yang dilakukan lembaga tersebut di masa lalu.
Praktis, peran dan fungsi keintelijenan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk tersebut di atas. Berbagai kegiatan masyarakat yang mengancam eksistensi kekuasaan Soeharto langsung di cap sebagai PKI, kader PKI, disusupi PKI, dan kata-kata yang menyudutkan masyarakat. Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut.
Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan fungsi Intelejen Polri makin menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai kasus yang melibatkan intelijen Polri pun sangat kentara. Misalnya pada kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan pejabat setingkat Kodim dan Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen Polri, atau bahkan kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan intelijen Polri, bahkan sebagai tersangka. Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam berbagai kasus telah dilemahkan. Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Polri dalam penanganan kasus kriminal, seperti pada kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang perlu dikemukakan adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran dan fungsi Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas. Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai ’tukang cuci piring’ dari berbagai kasus dan permasalahan yang melibatkan Polri selama kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.
Dukungan pendanaan dan SDM membuat BAIS menjadi satu organisasi yang begitu dominan, bahkan dibandingan dengan BAKIN. Masa Pemerintahan Habibie dan menjelang kejatuhan Soeharto BAIS memainkan peran yang begitu dominan. Unjuk rasa disertai aksi kerusuhan dan penembakan pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak lepas dari peran intelijen militer tersebut. Bahkan pada Referendum di Timor Timur, BAIS memainkan perannya untuk mempertahankan provinsi termuda tersebut memilih NKRI. Meski kalah telak, namun pemanfaatan dana tak terbatas dari ’uang asli tapi palsu/aspal’ sempat menjadi isu hangat, di luar tindakan kontra intelijen dan aksi bumi hangus di wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.
Yang cukup menarik adalah, meski TNI dan Polri disorot banyak pihak seputar kinerja dan perannya di masa lalu, lembaga intelijen hampir luput dari perhatian. BAKIN bahkan baru melakukan perubahan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, dengan nama Badan Intelijen Negara (BIN), dengan landasan legalitas Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen, yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikann komunitas intelijen lainnya. Perubahan tersebut hanya penegasan dari peran dan fungsi dari BAKIN yang dianggap pencitraannya kurang baik di masa lalu.
Perubahan tersebut harus dipahami sebagai upaya untuk ’mikul duwur mendem jero’, yang mencoba menetralkan BIN sebagai lembaga intelijen negara dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya. Meski juga disadari benar bahwa perubahan nama tersebut tidak juga mengubah karakter dan budaya kerja yang ada di BIN. BIN hanya berganti baju dari intelijen produk lama. Hal ini memang disadari betul mengingat perubahan paradigmatik di lembaga intelijen tersebut belum terjadi. Sehingga keberadaan BIN hanya menjadi pelengkap dari keberadaan lembaga-lembaga intelijen lainnya sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Apalagi A.M. Hendropriyono, yang dinilai dekat dengan Presiden Megawati makin memperkuat asumsi tersebut. Secara terbuka, bahkan Hendropriyono berulang kali mengungkapkan bahwa BIN merupakan bagian dari pemerintahan Megawati.
Di masa kepemimpinan Hendropriyono juga terjadi eksodus besar-besaran intel-intel sipil dan Polri dari BIN, karena adanya upaya mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut melakukan militerisasi di BIN. Proses tersebut juga disebabkan karena adanya faksionis di internal BIN ketika krisis politik perihal ancaman Dekrit Presiden oleh Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika kalangan intel sipil dan Polri yang merasa diuntungkan dengan berbagai kebijakan Wahid cenderung mendukung kepemimpinan Wahid, dan mencegah upaya sebagian intel berlatar belakang militer melakukan manuver mendukung penjatuhan Wahid dari kursi kepresidenan. Sebenarnya, kepemimpinan yang agak menyejukkan ketika BIN masih bernama BAKIN adalah saat Z.A. Maulani memimpin. Hanya teman dekat B.J. Habibie tersebut, melakukan blunder ketika mengamini kebijakan Habibie untuk melakukan referendum di Timor Timur.
Sedangkan Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi:
1. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
2. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Sama seperti yang terjadi di BIN, ternyata perubahan menjadi Badan Intelkam Polri tidak juga merubah paradigmatik berpikir, dan budaya lembaga yang ada. Bahkan untuk kasus Badan Intelkam Polri, ternyata ekspektasi yang luar biasa dari internal Polri membuat setiap perubahan yang ada menjadi semacam kemenangan bagi Polri setelah lebih dari 30 tahun terbelenggu dalam format matra angkatan. Sikap defensif dan menolak berbagai upaya penataan, khususnya penataan koordinasi intelijen tidak terlalu disikapi serius oleh Polri. Bahkan ada kesan, Polri menolak upaya untuk menata kelembagaan pertahanan dan keamanan dalam berbagai sikap dan cara.
Permasalahan yang juga muncul berkaitan dengan respon Polri, khususnya Badan Intelkam terhadap krisis politik di masa Presiden Wahid terjadi juga. Dualisme kepemimpinan Polri saat S. Bimantoro dan Chaeruddin Ismail satu dengan yang lain merasa menjadi Kapolri. Ada keragu-raguan juga ketika Keluarga Besar Polri harus memilih S. Bimantoro atau Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri. Situasi ini pada akhirnya direspon oleh delapan perwira menengah Polri dengan mendukung Chaeruddin Ismail, dan menolak kepemimpinan S.Bimantoro. Permasalahan yang kemudian muncul adalah Badan Intelkam Polri juga bermain dengan melakukan kontra intelijen dan menyebarkan informasi bahwa delapan orang ini akan melakukan kudeta, dan akan menangkap Ketua DPR, Akbar Tandjung, dan Ketua MPR, Amien Rais. Isu tersebut disebarkan agar kedelapan perwira menengah tersebut dapat di tangkap, selain alasan indisipliner
Otoritas negara dan koordinasi antar lembaga intelijen sejak bangsa ini merdeka, hingga Orde Reformasi menjadi satu permasalahan yang serius. Bukan itu saja, bahkan negara yang berperan sebagai end user ternyata juga melakukan langkah-langkah yang tidak sinergis dengan penegakan otoritas negara. pada berbagai masa kepresidenan, baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki berbagai persamaan dan perbedaan menyangkut keotoritasan negara dan koordinasi antar lembaga. Pada masa Orde Lama justru yang terjadi adalah meningkatkanya konflik antara Presiden Soekarno dengan TNI, khususnya Angkatan Darat. Konflik ini bermuara pada terbangunnya ketidakpercayaan Soekarno terhadap semua produk intelijen negara, yang kebetulan didominasi oleh militer. Sementara pada masa Orde Baru, semua produk intelijen digunakan oleh Presiden Soeharto, dan ia memposisikan dirinya pusat dari lingkaran komunitas intelijen lainnya. Bahkan dengan berbagai cara, yang salah satunya mendirikan lembaga intelijen yang ekstra yudisial, bersifat khusus, namun memiliki kekuasaan yang sangat besar dan melebihi wewenang lembaga intelijen yang ada. Pada masa Orde Reformasi, Habibie, Wahid, Megawati, dan SBY lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan mengenai intelijen. Namun kesamaan dari empat presiden tersebut adalah mengangkat kepala badan intelijen negara dari orang terdekat.
Sementara pada masa Orde Lama dan Orde Reformasi kendali atas lembaga-lembaga intelijen bersifat longgar, maka pada masa Orde Baru justru cenderung ketat. Kelonggaran kendali dan kontrol Soekarno, terhadap berbagai lembaga intelijen disebabkan oleh terbangunnya asumsi di kepala Soekarno mengenai dominasi militer di tubuh intelijen. Sehingga akan beresiko apabila produk yang dihasilkan oleh lembaga intelijen, khususnya intelijen negara digunakan sebagai pijakan untuk perumusan kebijakan. Ketatnya kendali atas komunitas intelijen di masa Orde Baru dilakukan oleh Soeharto dengan sadar. Sebab, kendali yang efektif atas lembaga intelijen yang ada akan mengurangi distorsi informasi yang merupakan produk intelijen tersebut. Sedangkan Presiden masa Orde Reformasi disebabkan adanya satu asumsi bahwa dengan memegang pimpinan atau kepala BAKIN atau BIN sudah cukup mengontrol lembaga tersebut untuk memberikan produk dari lembaga hanya kepada mereka.
Ketika Soekarno merasa tidak lagi mampu mengendalikan dominasi militer di lembaga intelijen negara, maka ia kemudian membentuk BPI, yang diharapkan mampu menjadi lembaga koordinasi antar lembaga intelijen lainnya. Dengan sepenuhnya dapat dikontrol dan loyal kepada dirinya, BPI kemudian saling berhadap-hadapan dengan kepentingan TNI di lapangan. Langkah Soekarno tersebut menjadi satu titik balik pengkubuan konflik antara dirinya dengan militer. Bahkan pengkubuan tersebut makin membesar ketika Soekarno merangkul PKI melalui jaringan BPI, dan Subandrio. Langkah Soeharto lebih elegan, ketika konflik antar perwira intel terjadi menjelang peristiwa Malari, yang dilakukan oleh Soeharto adalah menggantinya, serta keduanya kemudian ’diistirahatkan’ dan ditempatkan di pos tidak penting. Sedangkan pada Orde Reformasi kontrol negara hanya sebatas pada kepemimpinan level puncak lembaga intelijen negara. asumsi dasarnya, ketika Kepala Bakin atau BIN merupakan loyalis ataupun orang dekat kekuasaan maka kendali atas lembaga intelijen dalam genggaman.
Keberadaan komunitas intelijen lain, pada masa Orde Lama hampir tidak diganggu, kecuali aroma persaingan antara BPI dengan intelijen militer. Indikator yang paling kelihatan adalah dinamisasi dan perkembangan intelijen Kepolisian yang dapat menjalankan berbagai tugas dan fungsinya tanpa ada intervensi dan gangguan dari Soekarno. Bahkan mantan petinggi intelijen Kepolisian menjadi orang kedua di BPI, yang dipimpin Subandrio. Berbeda pada masa Orde Baru, marjinalisasi lembaga intelijen di luar intelijen militer begitu kentara. Bahkan melakukan sub ordinasi berbagai lembaga intelijen oleh lembaga-lembaga ekstra yudisial lain yang memiliki fungsi intelijen sering dilakukan, hal tersebut terjadi pada intelijen Polri. Fungsi koordinasi pada lembaga KIN ataupun BAKIN hanya untuk mengontrol komunitas intelijen lain, agar sejalan dengan kebijakan Soeharto. Pada Orde Reformasi terjadi penyimpangan ketika penangkapan Omar Al Farouk, salah satu gembong terorisme dilakukan oleh BIN, dan langsung diserahkan ke Amerika Serikat. Penyimpangan koordinasi ini menegasikan peran intelijen Polri dalam fungsi penegakan hukum.
Dalam membangun otoritas negara atas intelijen pun masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menemui kendala. Satu persamaan yang paling kelihatan pada masa pemerintahan enam presiden tersebut adalah upaya membawa komunitas intelijen menopang pemerintahan mereka. Soekarno berupaya mengembangkan BPI sebagai ujung tombak bagi pemerintahannya, dengan melakukan kontra intelijen dan kontra teror terhadap musuh Soekarno, TNI Angkatan Darat. Efektifitas kontrol terhadap lembaga-lembaga intelijen lain terganggu oleh manuver intelijen militer yang keluar dari koordinasi BPI. Sementara pada masa Orde Baru, Soeharto bisa dibilang efektif, meski jauh dari prinsip dan nilai demokrasi. Semua lembaga intelijen ada dalam genggamannya. Bahkan sangat efektif menopang pemerintahannya. Sedangkan pada Orde Reformasi mengangkat ketua dan pimpinan BAKIN, atau BIN berasal dari orang terdekat di lingkaran kekuasaan.
Penataan Koordinasi
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban
Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang, khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan, yakni:
Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.
Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri. Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu dan kabur.
Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat mencakup keindonesiaan.
Keempat, budaya di internal lembaga intelejen belum mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.
Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya ancaman menjadi tragedi.
Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelejen untuk membuka hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali terjadi bentrok kerja antara lembaga intelejen tersebut di lapangan, misalnya pada kasus penggrebekan pelaku teroris di Tangerang yang membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.
Permasalahan koordinasi antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian, khususnya, maupun komunitas intelijen lainnya hampir pasti tidak akan terselesaikan apabila belum ada perundang-undangan yang mengatur komunitas tersebut. Koordinasi menjadi kata kunci bagi upaya mendorong agar lembaga intelijen, serta komunitas intelijen lainnya dapat mengefektifkan kinerja dan lebih profesional. Guna mereformasi lembaga intelijen secara umum, di mana di dalamnya akan menata pula permasalahan koordinasi, yang menjadi titik krusial bagi upaya mengefektifkan kinerja komunitas intelijen sesuai dengan porsi dan wewenangnya membutuhkan delapan prasyarat yang harus terpenuhi, yaitu:
Pertama, Upaya untuk menata koordinasi harus diawali dengan adanya legalitas yang mengikat seluruh komponen dan lembaga intelijen dalam satu irama yang selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Dengan memperhatikan pada jenis dan karakteristik dari masing-masing lembaga. Sehingga penataan koordinasi intelijen tersebut dapat terukur dan mampu membagi habis kewenangan secara proporsional. Akan tetapi perundang-undangan yang ada selain masalah koordinasi antar lembaga, juga harus memuat setidaknya berbagai komunitas intelijen yang ada dengan mengeksplisitkan pada: Hakikat dan tujuan intelijen; Ruang lingkup intelijen; Tugas, fungsi, serta wewenang; Organisasi dan prinsip-prinsip pengaturan. Dan yang tidak kalah seriusnya adalah penegasan bahwa lembaga intelijen harus tunduk pada otoritas sipil, dengan mengedepankan pada penghormatan pada HAM dan nilai serta prinsip demokrasi. Sementara perundang-undangan intelijen yang secara eksplisit dan sangat jelas menguraikan koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian adalah Law on Security Services of The Federal Republic of Yugoslavia, namun sayangnya negara tersebut tidak lagi eksis, karena hanya menyisakan Republik Serbia, setelah terakhir Montenegro juga menyatakan kemerdekaannya melalui referendum.
Kedua, otoritas negara dan kontrol yang berlapis pada efektifitas kinerja dan koordinasi komunitas intelijen. Otoritas negara dalam hal ini dapat dilihat dalam pengembangan kelembagaan dan pemakai produk intelijen terakhir. Dengan mengedepankan adanya otoritas negara setidaknya lembaga intelijen yang terkoordinir melalui keapala atau pimpinan lembaga koordinasi intelijen yang dipilih secara politis oleh Presiden. Bila kepala lembaga intelijen lainnya dipilih karena bersifat karier, maka upaya membangun otoritas negara atas lembaga intelijen tercermin dari pemilihan kepala lembaga koordinasi intelijen oleh Presiden. Adapun yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengembangkan dan mengefektifkan otoritasnya tidak melakukan politisasi, dan sentimen antar lembaga. Karena hal tersebut hanya akan membuat koordinasi dan konerja tidak akan efektif. Sedangkan pengawasan dan kontrol berlapis akan mendorong komunitas intelijen bekerja dengan efektif dan efisien, dengan memperhatikan berbagai rambu-rambu di dalam negara demokratik. Sementara khusus koordinasi antara BIN dan Baintelkam Polri, peran negara sebagai policy maker dan pemilik fungsi kontrol dan pengawasan harus lebih diuraikan secara detail dengan memperhatikan batasan-batasan wewenang antar keduanya. Dengan menegaskan efektifita kode etik lembaga intelijen, serta turunan dari tugas, dan fungsi di masing-masing lembaga, yang biasanya dikeluarkan melalui keputusan kepala masing-masing lembaga yang menaunginya.
Ketiga, pengembangan budaya kerja yang profesional dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. Budaya di masing-masing internal lembaga cenderung menahan diri dan mengambil jarak antar lembaga intelijen lainnya. Hal ini tidak akan menguntungkan bagi penataan lembaga intelijen, tidak hanya BIN dan Baintelkam Polri, yang banyak menangani permasalahan domestik dan dalam negeri, tapi juga lembaga intelijen lainnya. Salah satu yang harus ditegaskan mengenai budaya internal lembaga yang baik adalah, bagaimana mengembangkan cakupan kerja yang sesuai dengan batasan dan wewenangnya. Artinya bila Baintelkam Polri harus mampu mengembangkan segenap potensi untuk melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan kriminalitas.
Keempat, membangun kesadaran kepada masing-masing anggota intel perihal realitas yang dihadapi sebagai bagian dari pelaksana fungsi keintelijenan. Artinya, kebanggaan dan ekspektasi yang berlebihan tidak lagi menjadi satu kendala bagi pengembangan koordinasi. Kebanggaan semu dan ekspetasi yang berlebihan memang akan makin mencerminkan kedangkalan produk yang dihasilkan, sebab identitas dan pola akan mudah diketahui lawan, maupun masyarakat yang akhirnya enggan membagi informasinya. Citra dan intel kita memang sudah diambang kronis, contoh yang paling kentara adalah mudahnya anggota intel teridentifikasi oleh masyarakat saat melakukan covert operation. Bayangkan bagaimana mudahnya intel lawan dalam mengidentifikasi pola dan cara yang dilakukan oleh intel kita.
Kelima, terbangunnya semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap batasan dan wewenang lembaga intelijen lainnya, serta tidak berusaha melakukan penyabotan. Semangat kebersamaan ini mungkin akan sulit diwujudkan apabila melihat trauma masa lalu yang dirasakan oleh lembaga intelijen di luar intelijen militer, seperti intelijen Polri misalnya. Artinya perlu ada alat untuk memaksa lembaga-lembaga intelijen lainnya agar duduk bersama untuk melakukan koordinasi dengan payung perundang-undangan yang mengikat semua komunitas intelijen.
Keenam, mengembangkan kerja koordinasi, baik dalam bentuk yang formal seperti pada upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, yang payung undang-undangnya ada pada UU No. 15 Tahun 2003, maupun yang informal, seperti operasi intelijen gabungan yang bersifat insidental di perbatasan Timor Leste, yang tengah bergolak dan mengancam integritas nasional, baik bersifat politis, maupun kriminal.
Ketujuh, pemenuhan anggaran intelijen yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Prasyarat ini menjadi bagian yang akan mempengaruhi tingkat koordinasi antar lembaga. Sekedar gambaran, BIN dan Baintelkam Polri mendapatkan kucuran anggaran yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain, baik asal anggaran, maupun besaran anggarannya. BIN, bila statusnya tetap setingkat kementerian seperti sekarang, jelas akan memiliki anggaran yang cukup besar dibandingkan dengan Baintelkam Polri yang berasal dari Mabes Polri. Satu kelemahan yang disebabkan kurangnya anggaran adalah prilaku menyimpang yang membuat tingkat koordinasi menjadi lemah, seperti pada kasus beking oknum intel satu lembaga intelijen terhadap perjudian dan prostitusi beberapa waktu lalu. Padahal permasalah perjudian dan prostitusi merupakan bagian dari tugas Baintelkam Polri, sehingga bentrok dan konflik tidak dapat dihindarkan, yang berujung pada tidak efektifnya kerja-kerja keintelijenan.
Kedelapan, selain adanya aturan legal formal dalam bentuk undang-undang, dibutuhkan juga satu kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), ataupun keputusan bersama antara Kementerian yang membawahi BIN ataupun kepala BIN sendiri dengan Kapolri perihal batasan dan cakupan wewenang keamanan dalam negeri. Di mana BIN maupun Polri menegaskan hal tersebut, baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, ataupun Inpres No. 5 Tahun 2002, serta Kepres No. 103 Tahun 2001. artinya perlu ada batasan formal, antara cakupan Keamanan Dalam Negeri versi Polri, dengan batasan Keamanan Nasional dalam persfektif BIN. Masalah-masalah keamanan dalam negeri harus jelas antara keduanya, sehingga permasalahan koordinasi yang menjadi permasalahan antara kedua lembaga tersebut di masa akan datang tidak lagi terjadi.
Koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya pada intelijen negara, yakni BIN dan intelijen Kepolisian, yang terepresentasi dalam Baintelkam Polri diharapkan akan membaik dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut di atas. Artinya koordinasi yang efektif akan memberikan satu produk intelijen yang komprehensif bagi pemerintah, sebagai end user. BIN harus menegaskan dirinya sebagai intelijen yang menjalankan fungsi intelijen keamanan dalam negeri, yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah keamanan dalam negeri, yang terkait dengan pembentukan sistem peringatan dini serta sistem analisis informasi strategis guna menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, di Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002. Sehingga, keinginan untuk menjadi semacam Special Branch dalam Scotland Yard harus dikubur dalam-dalam, dengan lebih mengedepankan efektifitas dan penguatan tugas dan fungsi yang ada sekarang.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri.
Sehingga membutuhkan satu penegasan agar BIN dan Baintelkam Polri mampu memerankan perannya secara sinergis, komprehensif, serta berlandas pada prinsip dan nilai demokrasi. Penyimpangan dan gesekan kepentingan masing-masing lembaga pada operasional dapat diminimalisir dengan mempertegas aturan main, berupa perundang-undangan, dan berbagai kesepakatan antar keduanya. Sebab, menghilangkan sama sekali citra lembaga intelijen dalam berbagai peristiwa yang melanggar HAM, menunjukkan saling sikut dan mengorbankan lembaga lain demi menjaga citra dan nama baik di masyarakat pernah terjadi di masa lalu. Intelijen memang bukan lembaga normal biasa dalam praktik operasionalnya, sehingga pengetatan aturan main, dan kode etik operasionalnya menjadi penegas bagi keberadaan BIN, sebagai lembaga intelijen negara, dan Baintelkam Polri, sebagai intelijen Kepolisian untuk membangun koordinasi yang baik. Dan indikator yang paling kentara adalah terbangunnya koordinasi yang baik adalah efektifitas operasional masing-masing lembaga dengan tetap memperhatikan penegakkan HAM, dan nilai serta prinsip demokrasi.
Sumber : http://www.blogcatalog.com/topic/sejarah+intelijen/
Rabu, 25 Agustus 2010
9 Kasus Pembunuhan Selama 20 Tahun Di Indonesia
Selama 20 tahun terakhir, sedikitnya ada 9 pembunuhan berantai. Yang jadi korban, bisa teman dekat, ada juga yang tak punya hubungan apa-apa dengan pelaku.
Para pelaku pembunuhan berantai itu divonis hukuman mati. Kasus pembunuhan berantai apa dan siapa saja pelakunya?
1988 - Sumiarsih & Sugeng, kasus pembunuhan keluarga Letkol (Mar) Purwanto 20 tahun silam. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi pada 2008. Setelah menjalani hukuman penjara 20 tahun lebih, ibu dan anak, terpidana mati kasus pembantaian keluarga Letkol Mar. Purwanto ini, harus menjalani eksekusi di depan regu tembak Brimob Polda Jatim. Eksekusi dilakukan Sabtu dinihari, di sebuah tempat yang dirahasiakan. Jadwal dan pelaksanaan eksekusi ini sendiri mengacu pada ketentuan bahwa 3 x 24 jam setelah dipindahkan ke Rutan Medaeng, eksekusi harus dilakukan.
1994 - Harnoko Dewanto, pelaku pembunuhan 3 orang di Los Angeles, Amerika Serikat dan nama-nama korbannya adalah Gina, Eri, dan Suresh. Harnoko Dewanto mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu Vonis hukuman mati.
1996 - Ny Astini, pelaku pembunuhan 3 orang di Surabaya. Vonis hukuman mati dan telah dieksekusi tahun 2005. Proses eksekusi terhadap Astini tidak diketahui pers. Namun menurut keterangan tim eksekutor bahwa Astini ditembak dalam posisi duduk dan tanpa ditutup matanya. Padahal dalam aturannya, posisi terpidana mati saat dilakukan eksekusi dalam keadaan berdiri dan mata yang tertutup seperti pada eksekusi terpidana mati sebelumnya.
1996 - Siswanto (Robot Gedhek), pelaku pembunuhan 6 anak jalanan di Jakarta. Vonis hukuman mati dan telah meninggal dunia pada 2007. Terpidana mati kasus sodomi dan pembunuhan anak-anak jalanan, Siswanto alias Robot Gedek, meninggal dunia. Dugaan sementara, dia meninggal akibat penyakit jantung. "Robot Gedek meninggal di RSUD Cilacap, Senin (26/3/2007) pukul 13.45
1997 - Ahmad Suraji, pelaku pembunuhan 42 wanita di Medan. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi pada 2008. Terpidana mati Ahmad Suraji alias Dukun AS alias Nasib Kelewang sudah dieksekusi. Hasil otopsi pada jenazah terpidana mati menunjukkan Dukun AS tewas karena dadanya ditembus tiga peluru yang ditembakkan tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut). Lokasi eksekusinya berada di kawasan perkebunan karet di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dukun AS menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 22.00 WIB Kamis 10 Juli.
2001- Rio Alex Bulo (Rio Martil), pelaku pembunuhan 4 orang di Jabar, Jateng, Jatim ditambah 1 orang selama di LP Nusakambangan. Vonis hukuman mati. Tanggal 2 Mei 2005 usia Rio Alex Bulo genap 27 tahun. Ironisnya, dia 'merayakan' ulang tahunnya dengan menghabisi Iwan Zulkarnaen (34), terpidana korupsi sesama penghuni LP Nusakambangan. Iwan adalah korban pembunuhan kelima Rio. Rio memang pembunuh berdarah dingin,bahkan banyak orang menuduhnya sebagai seorang Psikopat. Jauh dari kata menyeramkan. Badannya kecil. Wajahnya pun polos. Tak ada yang menyangka dunia kejahatan adalah makanan sehari-harinya. Sedari kecil, Rio dikenal sebagai anak nakal. Polahnya membuat orangtuanya tidak mampu menanganinya lagi. Padahal kala itu Rio masih 8 tahun. Orangtuanya pun mengungsikan Rio kecil dari Sleman (Yogyakarta) ke Jakarta, ikut kakak sulungnya yang bertaut 12 tahun. Di Jakarta, kenakalan Rio menjadi-jadi ketika ayahnya tak lagi mengakuinya sebagai anak. Penyebanya, Rio tak mau pindah agama yang dipeluk sang ayah. Kasih sayang keluarga yang diimpikan Rio pun semakin tercerabut. Rio lalu berteman dengan preman Senen, sering bolos sekolah, mabuk-mabukan, hingga mengganja. Rio sering beroperasi dengan menggunakan Martil mautnya, sehingga dia dijuluki sebagai Rio Martil.
2005 - Iptu Garibaldi Handayani, pelaku pembunuhan 7 orang di Jambi. Vonis hukuman mati.
2007- Tubagus Yusuf Maulana (Dukun Usep), pelaku pembunuhan 8 orang di Lebak. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi 2008. Terpidana mati TB Yusuf Mulyana alias Usep dieksekusi mati Jumat malam. Dukun palsu pengganda uang yang telah membunuh 8 orang ini dieksekusi pada hari jum’at 18 Juli 2008 pukul 22.30 WIB di Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten.
2008- Verry Idham H (Ryan), pembunuhan terhadap 5 orang: 1 orang di Depok dan 4 orang ditemukan di pekarangan belakang rumah orangtua Ryan di Jombang, Jawa Timur. Keempat mayat itu yang bernama Guntur, Brandy, Vincent, dan Aril dieksekusi oleh Ryan dalam rentang waktu yang berbeda, tapi hanya Aril dan Vincent saja yang kemungkinan dihabisi dalam waktu yang sama. Guntur dibunuh dan dikubur sekitar Juni-Agustus 2007. Vincent dibunuh bersama-sama dengan Aril sekitar April 2008. Brandy (dibunuh) Januari 2008 dan diduga masih ada korban-korban lainnya, sementara Kasus masih dalam tahap penyidikan.
Hal ini saya tulis hanya sekedar untuk menambah pengetahuan Rekan-rekan Dunia maya.
Para pelaku pembunuhan berantai itu divonis hukuman mati. Kasus pembunuhan berantai apa dan siapa saja pelakunya?
1988 - Sumiarsih & Sugeng, kasus pembunuhan keluarga Letkol (Mar) Purwanto 20 tahun silam. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi pada 2008. Setelah menjalani hukuman penjara 20 tahun lebih, ibu dan anak, terpidana mati kasus pembantaian keluarga Letkol Mar. Purwanto ini, harus menjalani eksekusi di depan regu tembak Brimob Polda Jatim. Eksekusi dilakukan Sabtu dinihari, di sebuah tempat yang dirahasiakan. Jadwal dan pelaksanaan eksekusi ini sendiri mengacu pada ketentuan bahwa 3 x 24 jam setelah dipindahkan ke Rutan Medaeng, eksekusi harus dilakukan.
1994 - Harnoko Dewanto, pelaku pembunuhan 3 orang di Los Angeles, Amerika Serikat dan nama-nama korbannya adalah Gina, Eri, dan Suresh. Harnoko Dewanto mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu Vonis hukuman mati.
1996 - Ny Astini, pelaku pembunuhan 3 orang di Surabaya. Vonis hukuman mati dan telah dieksekusi tahun 2005. Proses eksekusi terhadap Astini tidak diketahui pers. Namun menurut keterangan tim eksekutor bahwa Astini ditembak dalam posisi duduk dan tanpa ditutup matanya. Padahal dalam aturannya, posisi terpidana mati saat dilakukan eksekusi dalam keadaan berdiri dan mata yang tertutup seperti pada eksekusi terpidana mati sebelumnya.
1996 - Siswanto (Robot Gedhek), pelaku pembunuhan 6 anak jalanan di Jakarta. Vonis hukuman mati dan telah meninggal dunia pada 2007. Terpidana mati kasus sodomi dan pembunuhan anak-anak jalanan, Siswanto alias Robot Gedek, meninggal dunia. Dugaan sementara, dia meninggal akibat penyakit jantung. "Robot Gedek meninggal di RSUD Cilacap, Senin (26/3/2007) pukul 13.45
1997 - Ahmad Suraji, pelaku pembunuhan 42 wanita di Medan. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi pada 2008. Terpidana mati Ahmad Suraji alias Dukun AS alias Nasib Kelewang sudah dieksekusi. Hasil otopsi pada jenazah terpidana mati menunjukkan Dukun AS tewas karena dadanya ditembus tiga peluru yang ditembakkan tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut). Lokasi eksekusinya berada di kawasan perkebunan karet di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dukun AS menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 22.00 WIB Kamis 10 Juli.
2001- Rio Alex Bulo (Rio Martil), pelaku pembunuhan 4 orang di Jabar, Jateng, Jatim ditambah 1 orang selama di LP Nusakambangan. Vonis hukuman mati. Tanggal 2 Mei 2005 usia Rio Alex Bulo genap 27 tahun. Ironisnya, dia 'merayakan' ulang tahunnya dengan menghabisi Iwan Zulkarnaen (34), terpidana korupsi sesama penghuni LP Nusakambangan. Iwan adalah korban pembunuhan kelima Rio. Rio memang pembunuh berdarah dingin,bahkan banyak orang menuduhnya sebagai seorang Psikopat. Jauh dari kata menyeramkan. Badannya kecil. Wajahnya pun polos. Tak ada yang menyangka dunia kejahatan adalah makanan sehari-harinya. Sedari kecil, Rio dikenal sebagai anak nakal. Polahnya membuat orangtuanya tidak mampu menanganinya lagi. Padahal kala itu Rio masih 8 tahun. Orangtuanya pun mengungsikan Rio kecil dari Sleman (Yogyakarta) ke Jakarta, ikut kakak sulungnya yang bertaut 12 tahun. Di Jakarta, kenakalan Rio menjadi-jadi ketika ayahnya tak lagi mengakuinya sebagai anak. Penyebanya, Rio tak mau pindah agama yang dipeluk sang ayah. Kasih sayang keluarga yang diimpikan Rio pun semakin tercerabut. Rio lalu berteman dengan preman Senen, sering bolos sekolah, mabuk-mabukan, hingga mengganja. Rio sering beroperasi dengan menggunakan Martil mautnya, sehingga dia dijuluki sebagai Rio Martil.
2005 - Iptu Garibaldi Handayani, pelaku pembunuhan 7 orang di Jambi. Vonis hukuman mati.
2007- Tubagus Yusuf Maulana (Dukun Usep), pelaku pembunuhan 8 orang di Lebak. Vonis hukuman mati, telah dieksekusi 2008. Terpidana mati TB Yusuf Mulyana alias Usep dieksekusi mati Jumat malam. Dukun palsu pengganda uang yang telah membunuh 8 orang ini dieksekusi pada hari jum’at 18 Juli 2008 pukul 22.30 WIB di Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten.
2008- Verry Idham H (Ryan), pembunuhan terhadap 5 orang: 1 orang di Depok dan 4 orang ditemukan di pekarangan belakang rumah orangtua Ryan di Jombang, Jawa Timur. Keempat mayat itu yang bernama Guntur, Brandy, Vincent, dan Aril dieksekusi oleh Ryan dalam rentang waktu yang berbeda, tapi hanya Aril dan Vincent saja yang kemungkinan dihabisi dalam waktu yang sama. Guntur dibunuh dan dikubur sekitar Juni-Agustus 2007. Vincent dibunuh bersama-sama dengan Aril sekitar April 2008. Brandy (dibunuh) Januari 2008 dan diduga masih ada korban-korban lainnya, sementara Kasus masih dalam tahap penyidikan.
Hal ini saya tulis hanya sekedar untuk menambah pengetahuan Rekan-rekan Dunia maya.
Jumat, 20 Agustus 2010
10 pelaku pembunuhan terkejam di dunia
10 pelaku pembunuhan terkejam di dunia
1. Ted Bundy (Theodore Robert Bundy
adalah seorang pembunuh berantai asal Amerika dan ia pernah melarikan diri dari penjara 2x dan akhirnya di eksekusi mati di tahun 1989, Ted Bundy kabarnya telah membunuh hampir 40 orang yang kesemuanya adalah wanita.
2. Richard “The IceMan” Kuklinski
Seorang pembunuh bayaran yang bekerja pada beberapa keluarga keturunan Italia-Ameriaka dan kabarnya sudah membunuh hampir 200 orang termasuk Jimmy Hoffa dengan senjata favorit pestol, belati dan gergaji.
3. Harrold Shipman
Seorang berkebangsaan Inggris dikenal sebagai pembunuh berantai yang mempunyai gelar seorang doktor ia telah membunuh pasien-pasiennya hampir 260 orang pasien. 80% nya adalah wanita dengan umur antara 93 tahun dan paling muda 41 tahun.
4. David Richard Berkowitz
Dikenal sebagai seorang pembunuh berantai Amerika dan dikenal juga sebagai teroris di kota New York di bulan Juli tahun 1976 sampai akhirnya ditahan di bulan Agustus tahun 1977. Berkowitz mempunyai modus operandi mencari seorang perempuan berambut panjang yang bekerja larut malam dan dibunuh dengan menggunakan pestol yang diletakkan dalam saku kemudian memotong rambut sebagai tanda.
5. Jack The Ripper
Adalah nama samaran untuk seorang pembunuh berantai yang tidak teridentifikasi namanya di sebuah perkampungan miskin Whitechapel kota London, Inggris di tahun 1888. Sasarannya adalah para wanita pelacur di sebuah prostitusi dengan menggorok leher, kemudian memotong tumbuh korban menjadi beberapa bagian serta membuang organ vital lain si korban.
6. Jefery Dahmer
Seorang pembunuh berantai asal Amerika dan juga seorang yang dikenal mempunyai kelainan sex. Ia sudah membunuh 17 orang dewasa dan remaja yang mempunyai keturunan Afrika dan Asia di sertai dengan pemerkosaan, penyiksaan, mutilasi dan cannibalism.
7. Luis Alfredo Garavito Cubillos
Dikenal sebagai seorang pemerkosa dan juga pembunuh berantai asal Colombia yang juga seorang homosexual. Ia telah membunuh hampir 200 orang (antara umur 8 s/d 18 tahun) di tahun 1992 sampai dengan tahun 1999.
8. Robert William “Willie” Pickton
Seorang pembunuh berantai keturunan Inggris- Columbia, ia membunuh 20 orang wanita pelacur di Downtown Eastside di tahun 1992 sampai dengan tahun 1999.
9. Elizabeth Bathory
Seorang wanita pembunuh berantai asal Hungaria dengan jumlah korban sebanyak 600 orang wanita di tahun 1600. Keluarganya pun di kenal sebagai keluarga yang sangat terkenal di Hunggaria.
10. Gilles De Rais
Dikenal sebagai seorang pembunuh berantai yang korban keseluruhannya adalah masih anak-anak. Ia kabarnya sudah membunuh 200 orang anak dalam jangka waktu 10 tahun yang rata-rata korbanya adalah anak-anak dengan umur antara 6 tahun s/d 8 tahun.
semoga informasi di atas dapat berguna bagi pengetahuan kalian sebagai agen dan detektif..
1. Ted Bundy (Theodore Robert Bundy
adalah seorang pembunuh berantai asal Amerika dan ia pernah melarikan diri dari penjara 2x dan akhirnya di eksekusi mati di tahun 1989, Ted Bundy kabarnya telah membunuh hampir 40 orang yang kesemuanya adalah wanita.
2. Richard “The IceMan” Kuklinski
Seorang pembunuh bayaran yang bekerja pada beberapa keluarga keturunan Italia-Ameriaka dan kabarnya sudah membunuh hampir 200 orang termasuk Jimmy Hoffa dengan senjata favorit pestol, belati dan gergaji.
3. Harrold Shipman
Seorang berkebangsaan Inggris dikenal sebagai pembunuh berantai yang mempunyai gelar seorang doktor ia telah membunuh pasien-pasiennya hampir 260 orang pasien. 80% nya adalah wanita dengan umur antara 93 tahun dan paling muda 41 tahun.
4. David Richard Berkowitz
Dikenal sebagai seorang pembunuh berantai Amerika dan dikenal juga sebagai teroris di kota New York di bulan Juli tahun 1976 sampai akhirnya ditahan di bulan Agustus tahun 1977. Berkowitz mempunyai modus operandi mencari seorang perempuan berambut panjang yang bekerja larut malam dan dibunuh dengan menggunakan pestol yang diletakkan dalam saku kemudian memotong rambut sebagai tanda.
5. Jack The Ripper
Adalah nama samaran untuk seorang pembunuh berantai yang tidak teridentifikasi namanya di sebuah perkampungan miskin Whitechapel kota London, Inggris di tahun 1888. Sasarannya adalah para wanita pelacur di sebuah prostitusi dengan menggorok leher, kemudian memotong tumbuh korban menjadi beberapa bagian serta membuang organ vital lain si korban.
6. Jefery Dahmer
Seorang pembunuh berantai asal Amerika dan juga seorang yang dikenal mempunyai kelainan sex. Ia sudah membunuh 17 orang dewasa dan remaja yang mempunyai keturunan Afrika dan Asia di sertai dengan pemerkosaan, penyiksaan, mutilasi dan cannibalism.
7. Luis Alfredo Garavito Cubillos
Dikenal sebagai seorang pemerkosa dan juga pembunuh berantai asal Colombia yang juga seorang homosexual. Ia telah membunuh hampir 200 orang (antara umur 8 s/d 18 tahun) di tahun 1992 sampai dengan tahun 1999.
8. Robert William “Willie” Pickton
Seorang pembunuh berantai keturunan Inggris- Columbia, ia membunuh 20 orang wanita pelacur di Downtown Eastside di tahun 1992 sampai dengan tahun 1999.
9. Elizabeth Bathory
Seorang wanita pembunuh berantai asal Hungaria dengan jumlah korban sebanyak 600 orang wanita di tahun 1600. Keluarganya pun di kenal sebagai keluarga yang sangat terkenal di Hunggaria.
10. Gilles De Rais
Dikenal sebagai seorang pembunuh berantai yang korban keseluruhannya adalah masih anak-anak. Ia kabarnya sudah membunuh 200 orang anak dalam jangka waktu 10 tahun yang rata-rata korbanya adalah anak-anak dengan umur antara 6 tahun s/d 8 tahun.
semoga informasi di atas dapat berguna bagi pengetahuan kalian sebagai agen dan detektif..
5 Penemu yang Meninggal karena Penemuannya
Ini hanya sekedar penambah pengetahuan.
Berikut adalah nama 5 penemu yang meninggal karena penemuannya..
1. Marie Curie
adalah seorang ahli fisika dan kimia Perancis-Polandia yang terkenal karena menemukan berbagai elemen baru, termasuk radium dan polonium, juga teori radioaktivitas dan isolasi isotop radioaktif. Ia adalah penerima Penghargaan Nobel tahun 1903 (bersama suaminya Pierre). Ia meninggal tanggal 4 Juli 1934, karena anemia aplastik, berkaitan dengan radiasi. Efek merusak radiasi ion ini belum diketahui, dan banyak karyanya telah diteliti tanpa pengamanan. Ia telah melakukan ujicoba tube berisi isotop radioaktif di kantungnya dan menyimapnnya di laci meja, menghasilkan cahaya biru-hijau ketika zat ini dimasukkan ke ruangan gelap.
2. Jr.Thomas Midgley
adalah seorang ahli kimia Amerika yang menemukan petrol timah dan CFC. Meskipun dipuji pada masanya, ia dicap sebagai orang yang “memiliki lebih banyak dampak terhadap atmosfir daripada organisme tunggal lainnya sepanjang sejarah Bumi” dan “orang yang bertanggunjawab atas banyaknya kematian daripada yang lain sepanjang sejarah” karena penemuannya. Ia mengidap Polio dan keracunan timah dan dibiarkan begitu saja di tempat tidurnya. Ia meninggal pada usia 55 tahun setelah dicekik oleh salah satu katrolnya dan fakta bahwa kedua penemuannya, petrol timah dan tempat tidur yang dioperasikan katrol, turut berperan dalam kematiannya.
3. John Godfrey Parry-Thomas
adalah seorang pembalap dan teknisi Wales. Ia selalu mengimpikan memecahkan rekor kecepatan darat yang dipecahkan oleh Malcolm Campbell, dan membuat sebuah mobil yang dapat melakukannya. Ia membuat sebuah mobil, bernama Babs, yang mengalami banyak perubahan, seperti rantai yang menghubungkan roda dengan mesin. Tanggal 27 April 1926, Parry-Thomas memecahkan rekor itu, sebelum meningkatkannya menjadi 170 mph keesokan harinya. Rekor ini bertahan selama satu tahun, sebelum Malcolm Campbell memecahkannya pada 1927. Berusaha merebut kembali gelarnya, salah satu rantai terlepas dan melayang ke lehernya, langsung memenggalnya setengah. Ia meninggal seketika di tempat.
4. Otto Lilienthal
adalah perintis penerbangan mansuia yang kemudian dikenal sebagai Raja Paralayang. Ia adalah orang pertama yang berhasil melakukan penerbangan paralayang berturut-turut. Suratkabar dan majalah di banyak negara meneribtkan foto Lilienthal berparalayang, mempengaruhi opini publik dan ilmiah mengenai kemungkinan mesin terbang menjadi praktis setelah zaman fantasi dan pemikiran tidak ilmiah. Pada penerbangan 9 Agustus 1896, Lilienthal jatuh 17 meter. mematahkan tulang belakangnya. Ia meninggal keesokan harinya. Kata-kata terakhirnya adalah, “Pengorbanan kecil harus dilakukan!”.
5. Cowper Phipps Coles
adalah seorang Kapten Angkatan Laut KErajaan yang menemukan meriam berputar untuk kapal selama Perang Krimea. Setelah perang, Coles mempatenkan penemuannya dan membangun kapalnya sendiri menggunakan desain revolusioner, diadaptasi dari kapal AL Kerajaan lain. Kapalnya, HMS Captain, membutuhkan beberapa modifikasi tak biasa dan berbahaya tetapi, memiliki “dek badai” yang meningkatkan pusat gravitasi kapal. Tanggal 6 September 1870, HMS Captain terbalik, menewaskan Coles dan sebagian besar dari 500 awak kapalnya.
materi di atas diambil dari : http://gokilonline.com/5-penemu-yang-meninggal-karena-penemuannya/
Berikut adalah nama 5 penemu yang meninggal karena penemuannya..
1. Marie Curie
adalah seorang ahli fisika dan kimia Perancis-Polandia yang terkenal karena menemukan berbagai elemen baru, termasuk radium dan polonium, juga teori radioaktivitas dan isolasi isotop radioaktif. Ia adalah penerima Penghargaan Nobel tahun 1903 (bersama suaminya Pierre). Ia meninggal tanggal 4 Juli 1934, karena anemia aplastik, berkaitan dengan radiasi. Efek merusak radiasi ion ini belum diketahui, dan banyak karyanya telah diteliti tanpa pengamanan. Ia telah melakukan ujicoba tube berisi isotop radioaktif di kantungnya dan menyimapnnya di laci meja, menghasilkan cahaya biru-hijau ketika zat ini dimasukkan ke ruangan gelap.
2. Jr.Thomas Midgley
adalah seorang ahli kimia Amerika yang menemukan petrol timah dan CFC. Meskipun dipuji pada masanya, ia dicap sebagai orang yang “memiliki lebih banyak dampak terhadap atmosfir daripada organisme tunggal lainnya sepanjang sejarah Bumi” dan “orang yang bertanggunjawab atas banyaknya kematian daripada yang lain sepanjang sejarah” karena penemuannya. Ia mengidap Polio dan keracunan timah dan dibiarkan begitu saja di tempat tidurnya. Ia meninggal pada usia 55 tahun setelah dicekik oleh salah satu katrolnya dan fakta bahwa kedua penemuannya, petrol timah dan tempat tidur yang dioperasikan katrol, turut berperan dalam kematiannya.
3. John Godfrey Parry-Thomas
adalah seorang pembalap dan teknisi Wales. Ia selalu mengimpikan memecahkan rekor kecepatan darat yang dipecahkan oleh Malcolm Campbell, dan membuat sebuah mobil yang dapat melakukannya. Ia membuat sebuah mobil, bernama Babs, yang mengalami banyak perubahan, seperti rantai yang menghubungkan roda dengan mesin. Tanggal 27 April 1926, Parry-Thomas memecahkan rekor itu, sebelum meningkatkannya menjadi 170 mph keesokan harinya. Rekor ini bertahan selama satu tahun, sebelum Malcolm Campbell memecahkannya pada 1927. Berusaha merebut kembali gelarnya, salah satu rantai terlepas dan melayang ke lehernya, langsung memenggalnya setengah. Ia meninggal seketika di tempat.
4. Otto Lilienthal
adalah perintis penerbangan mansuia yang kemudian dikenal sebagai Raja Paralayang. Ia adalah orang pertama yang berhasil melakukan penerbangan paralayang berturut-turut. Suratkabar dan majalah di banyak negara meneribtkan foto Lilienthal berparalayang, mempengaruhi opini publik dan ilmiah mengenai kemungkinan mesin terbang menjadi praktis setelah zaman fantasi dan pemikiran tidak ilmiah. Pada penerbangan 9 Agustus 1896, Lilienthal jatuh 17 meter. mematahkan tulang belakangnya. Ia meninggal keesokan harinya. Kata-kata terakhirnya adalah, “Pengorbanan kecil harus dilakukan!”.
5. Cowper Phipps Coles
adalah seorang Kapten Angkatan Laut KErajaan yang menemukan meriam berputar untuk kapal selama Perang Krimea. Setelah perang, Coles mempatenkan penemuannya dan membangun kapalnya sendiri menggunakan desain revolusioner, diadaptasi dari kapal AL Kerajaan lain. Kapalnya, HMS Captain, membutuhkan beberapa modifikasi tak biasa dan berbahaya tetapi, memiliki “dek badai” yang meningkatkan pusat gravitasi kapal. Tanggal 6 September 1870, HMS Captain terbalik, menewaskan Coles dan sebagian besar dari 500 awak kapalnya.
materi di atas diambil dari : http://gokilonline.com/5-penemu-yang-meninggal-karena-penemuannya/
Sabtu, 06 Maret 2010
Mencegah Fenomena Kehancuran Indonesia
Mengapa saya katakan fenomena? karena tidak lain sudah terlihat dalam pandangan mata kita tentang hancurnya Indonesia dapat ditunjukkan dengan 7 perkara.
1. Rusaknya moral manusia Indonesia akibat godaan korupsi, dalam usia yang memasuki tahun ke-65 indonesia merdeka, seyogyanya masalah ini sudah harus berakhir dengan penegakan hukum yang tegas. Apabila gagal, maka ini adalah tanda-tanda kepastian hancurnya Indonesia.
2. Hilangnya jiwa ksatria dari prajurit-prajurit bangsa Indonesia atapun abdi Negara. Para pengawal rakyat, bangsa dan negara yang tidak dilandasi jiwa ksatria akan cenderung pengecut, bersembunyi dibalik kebohongan, dan semena-mena serta tidak bertanggung jawab. Akibatnya adalah pagar makan tanaman, dimana perlindungan kepada rakyat Indonesia tidak terjadi, bahkan sebaliknya rakyat justru menjadi korban. Hal ini menuntut reformasi yang serius dalam rangka melahirkan ksatria-ksatria bangsa Indonesia yang dapat diandalkan. Apabila gagal juga, maka ini adalah tanda kepastian kehancuran Indonesia.
3. Kearifan lokal Indonesia yang luntur di jiwa para teknokrat dan ekonom. Kehebatan intelektual lulusan luar negeri baik itu Barat maupun Timur, seringkali mendominasi wacana pembangunan Indonesia. Sementara kearifan lokal dianggap sebagai onggokan sampah karena tidak dapat diterima teori-teori logika yang hebat. Pada zaman keemasan Kerajaan Nusantara, kearifan lokal tampak dalam monumen-monumen yang indah yang mencerminkan konsep masyarakat tentang apa yang ingin dipersepsikan kepada dunia. Saat ini kita melihat budaya bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang kumuh dan jumud karena seniman dan seniwati kehilangan daya kreatifitasnya karena masyarakat juga mulai kurang menghargainya. Harga yang harus kita bayar adalah fakta, bahwa sedikit demi sedikit kita kehilangan jati diri ke-Indonesia-an. Itulah sebabnya pertikaian faham neoliberal versus sosialisme (kerakyatan) akan terus bergema apabila para teknokrat dan ekonom Indonesia yang cerdas tidak mampu mentransformasi filsafat ekonomi modern ke dalam kearifan lokal Indonesia. Apabila hal ini tetap diabaikan, maka tidak ada yang khas yang menjiwai pembangunan bangsa, negara Indonesia...yang akan terjadi adalah pembangunan kapital, fisik, dan mentalitas kebendaan yang menjadi citra kesuksesan manusia di abad 21.
4. Kejujuran, keadilan dan penegakkan kebenaran. Sejarah Indonesia ditulis dalam kemasan yang baik namun diwarnai ketidakjujuran, ketidakadilan dan ketidakbenaran dalam penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah reformasi, ternyata situasi tersebut belum benar-benar hilang, bahkan muncul kembali dalam model dan bentuk yang berbeda. Pertarungan nilai-nilai yang selama ini membuat bangsa Indonesia menjadi kuat tampaknya akan semakin berat karena kuatnya pengaruh syataniah yang menjerumuskan Indonesia ke dalam pengabaian nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran. Apabila hal ini juga tidak segera kita kobarkan kembali di setiap jiwa manusia Indonesia, tentunya kehancuran Indonesia juga sudah di depan mata.
5. Kemampuan membaca zaman. Bacalah dengan sungguh-sungguh tanda zaman dan perubahannya. Indonesia tidak dapat hidup dalam keajegan cara pandang di berbagai bidang. Perlu dinamika yang tertata dalam koridor cita-cita bangsa menjadi Indonesia yang sesungguhnya, yaitu bangsa yang baik. Mengapa mengutamakan kebaikan, karena nilai kebaikan yang kuat di bumi nusantara akan mempererat hubungan antar anggota masyarakat yang pada gilirannya akan memperkuat kerjasama internal untuk mendorong peningkatan ekonomi dan sosial secara nyata. Menjadi baik tidak berarti mudah dibodohi oleh orang-orang jahat yang tidak ingin Indonesia menjadi besar. Kesadaran massal bangsa Indonesia memerlukan dukungan dari manusia-manusia Indonesia unggulan. Siapakah manusia unggulan di Indonesia? mereka tersembunyi namun kita dapat merasakan kehadirannya. Ada yang dikenal publik dan ada juga yang tidak, ciri-cirinya adalah bahwa mereka tidak menyadari bahwa pengaruh mereka sangat besar untuk Indonesia Raya. Kelemahan kita dalam membaca zaman menjanjikan kehancuran Indonesia, atau minimal kegagalan pembangunan ekonomi.
6. Perkara yang keenam adalah peranan kepemimpinan nusantara secara nyata dan secara spiritual. Presiden, para Menteri, para pimpinan Partai, para anggota Dewan, para gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa, dll adalah penguasa kepemimpinan dunia nyata. Namun mereka belum tentu juga berperan sebagai pemimpin dunia spiritual. Semua golongan agama dan kepercayaan di Indonesia niscaya memahami pentingnya memelihara bumi yang akan melahirkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia sebab-akibat, dunia tanpa batas, dan dunia elementer yang sering digunakan sebagai rujukan melihat masa depan. Karena di Indonesia terlalu kuat pengaruh alam khayali (imajinasi), maka seringkali kepercayaan kita kepada para pemimpin spiritual menjadi sangat rendah, bahkan cenderung tidak percaya. Lagi pula sangat sulit untuk mengetahui atau menemui pemimpin/penempuh jalan spiritual yang murni, asli, dan iklhas. Kegagalan memadukan hal ini akan mendorong Indonesia ke satu sisi yang membahayakan, namun akan dapat kembali pada keseimbangan, sayangnya proses tsb akan menyerap tenaga, dana, dan pikiran, dan apabila hal itu tidak tersedia, maka kehancuran juga telah menanti.
7. Perkara terakhir adalah perkara kampanye massal kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk tidak bosan-bosannya menyerukan semangat kebangkitan bangsa Indonesia. Peranan media massa, baik dalam bentuk cetakan, online, media radio, TV, dll sangatlah penting. Namun sayangnya belum tampak suatu kesadaran yang luas di kalangan media massa untuk turut serta memajukan bangsa dan negara Indonesia melalui program-program yang akan mampu mendorong bangsa Indonesia memiliki jati diri ke-Indonesia-an yang kuat.
1. Rusaknya moral manusia Indonesia akibat godaan korupsi, dalam usia yang memasuki tahun ke-65 indonesia merdeka, seyogyanya masalah ini sudah harus berakhir dengan penegakan hukum yang tegas. Apabila gagal, maka ini adalah tanda-tanda kepastian hancurnya Indonesia.
2. Hilangnya jiwa ksatria dari prajurit-prajurit bangsa Indonesia atapun abdi Negara. Para pengawal rakyat, bangsa dan negara yang tidak dilandasi jiwa ksatria akan cenderung pengecut, bersembunyi dibalik kebohongan, dan semena-mena serta tidak bertanggung jawab. Akibatnya adalah pagar makan tanaman, dimana perlindungan kepada rakyat Indonesia tidak terjadi, bahkan sebaliknya rakyat justru menjadi korban. Hal ini menuntut reformasi yang serius dalam rangka melahirkan ksatria-ksatria bangsa Indonesia yang dapat diandalkan. Apabila gagal juga, maka ini adalah tanda kepastian kehancuran Indonesia.
3. Kearifan lokal Indonesia yang luntur di jiwa para teknokrat dan ekonom. Kehebatan intelektual lulusan luar negeri baik itu Barat maupun Timur, seringkali mendominasi wacana pembangunan Indonesia. Sementara kearifan lokal dianggap sebagai onggokan sampah karena tidak dapat diterima teori-teori logika yang hebat. Pada zaman keemasan Kerajaan Nusantara, kearifan lokal tampak dalam monumen-monumen yang indah yang mencerminkan konsep masyarakat tentang apa yang ingin dipersepsikan kepada dunia. Saat ini kita melihat budaya bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang kumuh dan jumud karena seniman dan seniwati kehilangan daya kreatifitasnya karena masyarakat juga mulai kurang menghargainya. Harga yang harus kita bayar adalah fakta, bahwa sedikit demi sedikit kita kehilangan jati diri ke-Indonesia-an. Itulah sebabnya pertikaian faham neoliberal versus sosialisme (kerakyatan) akan terus bergema apabila para teknokrat dan ekonom Indonesia yang cerdas tidak mampu mentransformasi filsafat ekonomi modern ke dalam kearifan lokal Indonesia. Apabila hal ini tetap diabaikan, maka tidak ada yang khas yang menjiwai pembangunan bangsa, negara Indonesia...yang akan terjadi adalah pembangunan kapital, fisik, dan mentalitas kebendaan yang menjadi citra kesuksesan manusia di abad 21.
4. Kejujuran, keadilan dan penegakkan kebenaran. Sejarah Indonesia ditulis dalam kemasan yang baik namun diwarnai ketidakjujuran, ketidakadilan dan ketidakbenaran dalam penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah reformasi, ternyata situasi tersebut belum benar-benar hilang, bahkan muncul kembali dalam model dan bentuk yang berbeda. Pertarungan nilai-nilai yang selama ini membuat bangsa Indonesia menjadi kuat tampaknya akan semakin berat karena kuatnya pengaruh syataniah yang menjerumuskan Indonesia ke dalam pengabaian nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran. Apabila hal ini juga tidak segera kita kobarkan kembali di setiap jiwa manusia Indonesia, tentunya kehancuran Indonesia juga sudah di depan mata.
5. Kemampuan membaca zaman. Bacalah dengan sungguh-sungguh tanda zaman dan perubahannya. Indonesia tidak dapat hidup dalam keajegan cara pandang di berbagai bidang. Perlu dinamika yang tertata dalam koridor cita-cita bangsa menjadi Indonesia yang sesungguhnya, yaitu bangsa yang baik. Mengapa mengutamakan kebaikan, karena nilai kebaikan yang kuat di bumi nusantara akan mempererat hubungan antar anggota masyarakat yang pada gilirannya akan memperkuat kerjasama internal untuk mendorong peningkatan ekonomi dan sosial secara nyata. Menjadi baik tidak berarti mudah dibodohi oleh orang-orang jahat yang tidak ingin Indonesia menjadi besar. Kesadaran massal bangsa Indonesia memerlukan dukungan dari manusia-manusia Indonesia unggulan. Siapakah manusia unggulan di Indonesia? mereka tersembunyi namun kita dapat merasakan kehadirannya. Ada yang dikenal publik dan ada juga yang tidak, ciri-cirinya adalah bahwa mereka tidak menyadari bahwa pengaruh mereka sangat besar untuk Indonesia Raya. Kelemahan kita dalam membaca zaman menjanjikan kehancuran Indonesia, atau minimal kegagalan pembangunan ekonomi.
6. Perkara yang keenam adalah peranan kepemimpinan nusantara secara nyata dan secara spiritual. Presiden, para Menteri, para pimpinan Partai, para anggota Dewan, para gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa, dll adalah penguasa kepemimpinan dunia nyata. Namun mereka belum tentu juga berperan sebagai pemimpin dunia spiritual. Semua golongan agama dan kepercayaan di Indonesia niscaya memahami pentingnya memelihara bumi yang akan melahirkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia sebab-akibat, dunia tanpa batas, dan dunia elementer yang sering digunakan sebagai rujukan melihat masa depan. Karena di Indonesia terlalu kuat pengaruh alam khayali (imajinasi), maka seringkali kepercayaan kita kepada para pemimpin spiritual menjadi sangat rendah, bahkan cenderung tidak percaya. Lagi pula sangat sulit untuk mengetahui atau menemui pemimpin/penempuh jalan spiritual yang murni, asli, dan iklhas. Kegagalan memadukan hal ini akan mendorong Indonesia ke satu sisi yang membahayakan, namun akan dapat kembali pada keseimbangan, sayangnya proses tsb akan menyerap tenaga, dana, dan pikiran, dan apabila hal itu tidak tersedia, maka kehancuran juga telah menanti.
7. Perkara terakhir adalah perkara kampanye massal kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk tidak bosan-bosannya menyerukan semangat kebangkitan bangsa Indonesia. Peranan media massa, baik dalam bentuk cetakan, online, media radio, TV, dll sangatlah penting. Namun sayangnya belum tampak suatu kesadaran yang luas di kalangan media massa untuk turut serta memajukan bangsa dan negara Indonesia melalui program-program yang akan mampu mendorong bangsa Indonesia memiliki jati diri ke-Indonesia-an yang kuat.
Langganan:
Postingan (Atom)