Negara manapun di dunia, tidak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan pokok atau wajib bagi suatu negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya pemanfaatannya dan juga pengendalian dari lembaga atau badan intelijen itu sendiri. Di Indonesia, sosok dan wibawa intelijen memang pernah sangat disegani khususnya di tahun awal 1967 sampai tahun 1969 yang terkenal waktu itu dengan istilah “Opsus” di bawah Ali Moertopo (alm.), dan penilaian itu sampai sekarang juga masih kental walaupun sebenarnya sudah terjadi banyak perubahan dalam tubuh lembaga intelijen di Indonesia.
Lembaga intelijen yang pertama terbentuk di Indonesia terjadi pada bulan September 1945, dimana berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat Zulkifli Lubis sewaktu di PETA dan Kempetai (Dinas Polisi Rahasia Jepang), maka beliau berinisiatif untuk membentuk Badan Istimewa (BI) dibawah garis komando BKR (Badan Keselamatan Rakyat), dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 6 Oktober 1945 di Cileungsi, Bogor.
Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 (empat puluh) orang opsir PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) mantan lulusan Seinenden Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian pernah diikutkan dalam pelatihan intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan teritorial, seperti pengumpulaninformasimiliter, sabotase dan perang urat saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.
Dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keutuhan kedaulatan Republik Indonesia, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kelihatan ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin terlihat ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah.
Akibat adanya tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara, menyebabkan sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TKR. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Presiden Soekarno tidak memiliki kendali atas BI.
Ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, maka pada tanggal 7 Mei 1946 Badan Istimewa diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Jendral Soedirman dan Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FPI (Field Preparation Indonesia). Tugas dari FPI adalah sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
BRANI dibentuk, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan strategis.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan Lembaga Pertahanan B sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI.
Pada masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri dan dengan restu politik dari Soekarno, maka pada bulan April 1947, BRANI dibubarkan dan diganti dengan KP V (Kementrian Pertahanan Bagian V), di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Satuan-satuan intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat dalam Peristiwa Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi KP V sebagai lembaga intelijen adalah dengan adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen KP V Seksi-A, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu. Alhasil, keberadaan KP V ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Setelah perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga merangkap sebagai kepala IKP. Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan militer. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen (BKI), namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer seperti BISAP dan IKP.
(Tulisan ini merupakan sumbangan dari: Andreas Rolando Purba; diambil dari Skripsi dalam menyelesaikan studi akhir di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; pada tahun 2009. Dengan judul "Mekanisme Kerja Komunitas Intelijen Daerah di Provinsi Kalimantan Barat Berdasar Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah")
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar